Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memulai Menulis Itu Berat, tapi Apakah akan Menyerah?

memilih untuk melanjutkan menulis atau menyerah

Menulis itu berat, Temans! Biar saya aja!

Eits! Jangan percaya kalimat di atas kalau Kamu belum mencobanya. Memang, memulai menulis itu berat. Banyak godaan yang sering membuat mundur teratur. Namun jika sudah terbiasa, menulis ibarat bernapas, kebutuhan yang tak bisa ditinggalkan. Pun banyak alasan yang mengharuskan bertahan untuk terus menulis, berkarya lewat aksara. 

Sering saya mendapati Temans yang curcol, ingin nulis tapi takut salah, nggak pede, ngerasa nggak bisa nulis, dan seabrek alasan lain.

Saya senyum simpul tiap mendengar hal ini. Kenapa? Karena itu adalah gambaran saya dulu. Persis seperti itu.

Perjalanan Menulis Itu...

Saya suka menulis sejak SMP, berbekal buku harian. Buku harian itu "hanya" terbuat dari sisa-sisa buku tulis yang kugunting lalu dijilid di tempat fotokopi.

Apa saja kutuliskan di buku itu. Rasa senang, sedih, kesal, marah, kecewa, harapan, dan hal-hal tak penting. Tak jarang juga buku sampai robek ketika kutekan pulpen kuat-kuat untuk meluapkan emosi.

Saya selalu malu untuk menunjukkan tulisan pada orang lain. Barulah saat SMA mulai berani show up mengirimkan puisi dan cerpen ke majalah dinding sekolah. Beberapa kali mencoba peruntungan mengirim naskah ke majalah Annida, tetapi belum pernah dimuat. Kehabisan modal untuk membayar biaya tik dan pengiriman, akhirnya berhenti begitu saja.

Sewaktu kuliah, keberanian kembali melempem. Sempat mengikuti kegiatan Forum Lingkar Pena (FLP) di kampus, tapi hanya sesekali karena kesibukan di organisasi dan kuliah.

Menjelang akhir kuliah, saya memutuskan mundur selangkah untuk melesat maju. Perjuangan demi lulus kuliah pun dimulai. Perjalanan 1 semester penentu dengan mata kuliah Jurnalistik, Editing, dan Applied Linguitics pun kujalani dengan semangat membara. Demi lulus dan adikku bisa segera melanjutkan kuliah setelah setahun terhenti. 

Dosen Jurnalistik saat itu adalah seorang dosen senior yang terbilang sudah sepuh. Cara mengajar beliau biasa saja, terkadang interaktif, terkadang monoton, tapi cukup menyenangkan. Lebih menyenangkan lagi ketika beliau mengatakan:

 “Tidak ada tugas (baca: tulisan) yang salah. Adanya berbeda kreativitas dan pengalaman.” 

Kurang lebih seperti itu yang beliau sampaikan, membuat saya makin bersemangat untuk mengerjakan setiap tugas mata kuliah yang beliau ampu. Setiap tugas reportase, meski hanya “sekadar” survei berapa jumlah kedai fotokopi yang beroperasi di sepanjang Jalan Hayam Wuruk (depan kampus FIB Undip). Lalu dilanjutkan tugas menyusun hasil reportase, dan seterusnya.

Tak dipungkiri, keinginan untuk mendapatkan nilai A di tiga mata kuliah terakhir ini juga membuatku makin getol mengerjakan tugas.

Tugas terakhir untuk membuat majalah utuh pun dilakoni dengan semangat baja. Mulai dari menyusun konsep, mencari narasumber, wawancara, menyusun laporan, hingga akhirnya majalah itu selesai. Iya, selesai meskipun akhirnya hanya digarap oleh 2 orang anggota dari 5 anggota yang ada (karena yang lain selalu susah dihubungi, sementara deadline terus mendekati). Hihi. MasyaAllah, sungguh pengalaman berharga, meski tentu berbeda dengan memproduksi majalah asli. 

Pertama Kali Mengirim Press Release ke Media 

Setelah lulus kuliah lalu kembali ke kampung halaman dan mengabdi di Lembaga Amil Zakat, kegiatan menulis kembali kutekuni dengan meminjam laptop milik kantor. Dari sinilah saya mulai percaya diri untuk mengirimkan tulisan di lomba-lomba yang diadakan di Facebook. Saya ingat betul, bagaimana rasanya hati bebunga-bunga, membuncah bahagia saat antologi pertama terbit dan sampai di tangan. MasyaAllah, tak menyangka akhirnya ada juga karya yang diterbitkan. 

Tugas di kantor memang sebagai penanggung jawab bagian administrasi dan keuangan, bidang yang sama sekali berbeda dengan jurusan kuliah. Namun saat pimpinan pusat meminta setiap cabang mengirimkan press release ke media internal dan media massa, mau tak mau saya harus ambil bagian. 

Meski belum berpengalaman dan belum memahami seluk beluknya, saya harus mencoba untuk mulai mengirimkan press release ke media massa lokal Wonosobo. Alhamdulillah, beberapa kali dimuat, mungkin karena mereka juga membutuhkan kiriman berita. Puncaknya, bisa menembus Suara Merdeka Lokal Kedu saat kami mengirimkan bantuan pasca bencana tanah longsor dan banjir bandang di Tieng Woosobo di tahun 2012. Ini juga sepertinya faktor X yang banyak berpihak, karena kemampuan menulisku masih begitu-begitu saja. 

Kemudian saya menjadi yakin, kalau saya tidak mau mencoba, mana mungkin bisa mencapai hal ini? sebuah kesadaran yang membuatku makin bersemangat untuk belajar. 

Menulis adalah Self Healing saat Mengalami Baby Blues

Setelah menikah, saya diboyong suami ke Semarang. Kembali menjadi warga Kota Semarang, dan kali ini benar-benar pindah menjadi warganya, tak sekadar memiliki KTP sementara. Gabut menjalani hari-hari menjadi ibu rumah tangga, saya kembali mencoba menulis dan berjualan online. 

Pasca persalinan sesar yang membuatku sangat terpuruk, terlebih saat mendengar omongan pedas orang termasuk yang mengatakan ibu dengan bekas sayatan di perut itu bukan perempuan sebenarnya. Saya mengalami baby blues syndome. Hampir setiap hari menangis tak jelas, sedih saat melihat bayi, ingin “lari” dan marah saat bayi itu menangis tak henti atau selalu ingin digendong sementara bekas operasi masih terasa nyeri, kondisi fisik belum benar-benar pulih, dan belum terbiasa dengan rutinitas setelah memiliki bayi. 

Alhamdulillah, suami dan keluarga selalu mendukung, tidak men-judge, dan selalu memberikanku waktu untuk bisa beristirahat. Suami mulai mendorongku untuk kembali menulis, dengan bergantian menjaga si Kecil terutama saat beliau libur kerja. Pun dengan bapak dan ibu mertua yang sangat menyayangi cucu pertamanya itu. MasyaAllah... 

Waktu itu saya menemukan komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis Semarang, yang membuatku tertarik untuk bergabung dan mengikuti kegiatan-kegiatannya. Dari sanalah, muncul kembali keinginan untuk mengaktifkan blog. Blog yang sudah lama dibuat (tahun 2009), tapi hampir tak pernah diisi tulisan dengan alasan: MALU dan TIDAK PEDE. 

"Terpaksa" Menulis Press Release Lagi

Suatu saat saya diminta untuk membantu di salah satu organiasi perempuan di Jateng. Di sini lah saya harus berkoordinasi dengan bidang Humas. Awalnya berniat meminta dibuatkan press release untuk kegiatan, namun dipaksa untuk mencoba menulis sendiri. 

Rasanya ingin menangis dan menyerah, meski akhirnya tetap saya buat dan mendapatkan masukan-masukan terkait rilis yang saya tulis. Lagi-lagi, jika waktu itu saya memilih untuk menyerah dan tidak mau berusaha menulis sebisanya, bisa jadi sampai sekarang saya sama sekali tidak bisa menulis hard news (meskipun sampai sekarang pun masih kaku saat menulis berita).

quote tentang menulis oleh Arina Mabruroh
Quote oleh Arina Mabruroh

Udah, Nulis Aja! Publish sambil Tutup Mata

Kuingat betul kata salah seorang senior bloger:

“Nulis aja, pede aja! Setiap tulisan akan menemukan pembacanya masing-masing. Saat akan mengisi blog, “Klick” tombol “publish” sambil merem, tak perlu hiraukan rasa malu dan kurang percaya diri yang masih muncul di hati. Lama-lama akan terbiasa.”

Rupanya tips dari beliau ini manjur. Sekarang, saya pede saja dengan prinsip “take it or leave it”. Jika suka dengan tulisan saya, alhamdulillah, jika tidak maka Anda bukan segmen pembaca saya. Jadi, mari kita lanjut menulis!

Saya merasakan benar dengan menulis menjadi self healing saya terutama saat mengalami baby blues syndrome pasca melahirkan. Dan sebenarnya, kegiatan ini lah yang sudah saya lalukan sejak dulu: menulis diary, yang mujarab sebagai tempat curhat. 

“Menulis adalah caraku berbagi, belajar memahami, dan mengobati diri sendiri.” (Arina Mabruroh).

Menulis Setiap Hari, agar Terbiasa 

“Mbak, mana tulisannya? Ko belum selesai? Kan tinggal nulis aja.” 

Jujur, ketika sedang baper, mendapat kalimat seperti ini membuatku makin baper. Wkwkwkwk. 

Iya, tinggal nulis. Namun perlu diingat, saat menulis reportase tentu saya tidak bisa seenak sendiri menulis ini-itu, harus berdasarkan fakta. Bahan yang lengkap akan lebih memudahkan proses menulis. Faktor “jam terbang” juga cukup memengaruhi. 

Bagaimana supaya jam terbang makin tinggi? Terus berlatih, itu kata para pakar. 

Memang benar, semakin banyak menulis, semakin terbiasa, akan semakin lincah. Jangan lupa, harus diimbangi dengan aktivitas membaca supaya pengatahuan dan perbedaharaan kata semakin kaya. 

Maka saya mencoba untuk menulis apa saja setiap hari. Dimulai dari hal yang paling dekat dengan diri-sendiri, seperti curhat (iya, seperti tulisan ini yang tahu-tahu sudah panjang), menulis setelah merenungkan sesuatu (random thought), menulis pengalaman berkesan, dll. 

Upgrade Ilmu dengan Mengikuti Kelas-kelas Menulis 

Saya sering mengikuti kelas-kelas menulis meskipun temanya pernah saya dapatkan. Kenapa? Agar saya kembali mendapatkan pencerahan dan recharge pengetahuan dasar dan teknis seputar menulis. Percayalah, setiap narasumber akan memberikan insight yang berbeda. 

Selain itu, upgrade juga skill menulis yang lebih spesifik. Seperti baru-baru ini saya mengikuti kelas menulis review makanan. Saya sengaja mengambil tema ini karena saya belum memiliki pengetahuan seputar menulis ulasan makanan dengan baik. Selama ini hanya asal menulis dan ternyata memang banyak yang harus diperbaiki. 

See? Terus mencoba dan belajar adalah kuncinya. Menulis, menulis, dan membaca adalah rumus canggihnya. 

Jadi, terus menyerah, jangan semangat! Eh, kebalik! :D 

Menulislah, agar lewat rangkaian aksara itu ada manfaat tersebar dan menjadi amal tak terputus. Aaamiin.

Semoga bermanfaat,

Salam, 

7 komentar untuk " Memulai Menulis Itu Berat, tapi Apakah akan Menyerah?"

  1. Wah, bener banget menulis itu sesuatu banget apalagi kalau berhasil menulis sebuah karya yang bisa dinikmati orang lain.

    BalasHapus
  2. Insaallah kalau cinta meski berat terasa ringan ya mba, cintai menulis dulu baru kemudian kita lakukan heheh. Biar ringan di setiap langkah menulis

    BalasHapus
  3. Apalagi kalau mood nulisnya lagi kacau banget, duhh kelar satu artikel rasanya bahagiaaaa bangett.. Berasa sdh berhasil melawan rasa malas yang datang wkwkwk

    BalasHapus
  4. Nah suka banget kalimat ini “Tidak ada tugas (baca: tulisan) yang salah. Adanya berbeda kreativitas dan pengalaman.” Karena kalau nunggu bagus ya gak bisa-bisa. Semua penulis profesional pasti berasal dari penulis amatir.

    Juga bagian kalau nulis yang perlu riset itu memang gak bisa semudah itu. Jadi kagum sama yang bisa nulis tiap hari dengan fakta-fakta lengkap. Tapi ya belajar terus hehe

    BalasHapus
  5. No please jangan nyerah hehehe itu jawaban pertama. Penuh perjuangan ya memang mba arin aku pun ngga percaya rasanya kalau masih konsisten ngeblog sampai skrg padahal aku orangnya angot2an

    BalasHapus
  6. Aku terbiasa nulis sih, tapi nggak tiap hari, hihi.. udah kayak media aja kalo gitu.

    Semangat menulis semangat bercuan, eh..

    BalasHapus
  7. Tulisan yang menginspirasi dan memotivasi buat menulis terutama kalau lagi diserang badmod atau writer block. Emang memulai menulis bukan hal yang mudah tapi kalau gak memulai kapan bisanya ya...

    Btw saya bisa nulis seperti sekarang juga karena memulai dari kebiasaan menulis di blog

    BalasHapus