Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dua Lelaki Inspiratif

sosok yang menginspirasi


Tema tantangan 1 week 1 post Komunitas Blogger Gandjel Rel pekan ini adalah “Sosok yang Menginspirasi”. Membicarakan hal ini, akan sangat banyak nama-nama orang yang menginspirasiku. Namun karena mood saya sedang kangen kampung halaman, langsung terbersit 2 lelaki yang paling dekat denganku: Mbah kakung dan bapak. Ya, 2 orang itu lah yang paling dekat dan sedikit banyak menjadi alasanku untuk memperjuangkan sesuatu. Apalagi, kalau terinspirasi dari orang-orang yang sudah banyak dikenal orang itu biasa, bukan? 

Simbah Kakung, Sosok yang Tekun dan Haus Ilmu 

Menurut cerita dari bapak, simbah adalah pensiunan Kantor Urusan Agama (KUA). Saat masih bekerja, beliau menjadi penghulu. Sepanjang yang kuingat, simbah adalah sosok tokoh agama yang disegani di desa.

Jadwal sehari-harinya akan dimulai dari pukul 4 pagi. Suara khas bakiak kayunya akan terdengar ‘cethok-cethok’ saat beliau menuju sumur untuk mengambil air wudlu. Ba’da subuh di masjid, beliau mengajar ngaji anak laki-laki, biasanya kurang lebih jam 6.30 baru selesai. Pulang ke rumah, aktivitas selanjutnya adalah membaca Al-Qur’an sampai waktu sarapan tiba. 

Simbah putri menyeduh teh tubruk untuk beliau ditemani singkong rebus atau nasi goreng jadul. Lepas sarapan beliau akan shalat dhuha lalu menuju ladang/sawah atau mengerjakan apa saja yang bisa beliau kerjakan di rumah. Meskipun sudah sepuh, tapi selalu ada saja inisiatif beliau. Mungkin saat itu beliau mengalami semacam power post syndrome, sehingga tidak bisa “diam”. 

Beliau sering punya ide untuk menciptakan alat-alat yang bermanfaat untuk kegiatan di rumah, meskipun sering zonk. Sebutlah alat untuk menggiling kopi saat musim panen kopi, membuat alat pengiris pisang untukkeripik, membuat rak untuk di kamar, menjilid buku-buku atau potongan koran yang beliau sukai, dll. 

Salah satu hobi beliau yang selalu konsisten adalah MEMBACA. Setiap bulan, beliau akan pergi ke kantor pos di kota untuk mengambil uang pensiun. Rutinitas yang beliau lakukan setelahnya adalah menuju pasar induk Wonosobo, ke kios buku bekas untuk membeli beberapa buku. Ketika tahu cucunya suka membaca cerita bergambar (cergam) “Kisah-kisah Nabi”, beliau pun selalu membawa buku-buku cergam kecil itu sebagai hadiah setiap bulan. Tak lupa, beliau juga membeli Tabloid WARTA NU, yang kala itu terbit sepekan sekali tetapi beliau hanya membeli sekali dalam sebulan. Jika ada judul buku yang menarik, tak jarang beliau juga membelinya.

Sore hari biasanya ada jadwalnya mengisi pengajian selapanan di beberapa desa se-Kecamatan Mojotengah. Jadwal rutin tetapi beda hari tiap desa. Malamnya, sering ada jadwal ceramah di masjid dan mushala-mushala. 

Simbah kakung bukan orang kaya, tetapi beliau mendedikasikan dirinya untuk agama. Tak jarang beliau berjalan kaki berkilo-kilometer untuk pulang/pergi dari desa lain untuk ceramah. Saat itu masih jarang sepeda motor, sehingga panitia tidak pasti mengantar/jemput simbah. 

Saat bulan Ramadhan, setiap hari lantunan Al-Qu’an beliau akan menemani kami. Ba’da ashar di masjid, ada semaan ayat Al-Qur’an selama sebulan penuh. Setiap hari 1 juz Al-Qur’an dengan beliau yang membacakan dan sesekali menjelaskan makna ayat tertentu. 

“Dadio wong sing iso rumongso, ojo rumongso iso.”
Wejangan itu pernah beliau sampaikan, kurang lebih maksudanya adalah untuk bisa menempatkan diri, bukan sombong dengan kemampuan yang dimiliki. 

Simbah kakung, yang berkeinginan menunaikan ibadah haji tapi sampai akhir hayatnya belum terlaksana. Menurut cerita bapak, beberapa saat sebelum berpulang, beliau bermimpi sedang di atas kapal menuju makkah untuk berhaji. MasyaAllah. 

Bapak, sang Pejuang Keluarga

Saya pernah bercerita, bahwa dari simbah kakung dan bapak, kami mengambil pelajaran berharga tentang mewariskan ilmu, bukan mewariskan harta. Bapak, seorang petani sederhana, berusaha keras untuk menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi.

Pernah kuprotes bapak, saat kemah sekolah kenapa tidak pernah menjengukku? Beliau menjawab, kemah di sekolah itu untuk melatih anak-anak mandiri dan jauh dari orang tua sehingga tidak perlu dijenguk.

Saat belum punya kendaraan bermotor satu pun, kami terbiasa pergi ke suatu tempat dengan berjalan kaki dan menumpang kendaraan umum. Tak jarang kami berjalan kaki sampai berjam-jam untuk menuju rumah saudara. Bisa jadi kebiasaan sejak kecil ini yang membuatku nyaman jalan kaki di mana pun. 

Bapak bukan orang yang lugas menunjukkan kasih sayang kepada anak-anak, cenderung kaku. Namun kami tahu, cinta bapak dan mamak tak pernah habis untuk kami.

Beliau hanya seorang petani kecil, yang meskipun menjadi perangkat desa, hasil dari tanah bengkok (tanah desa sebagai imbalan kepala dan perangkat desa selama menjabat) bisa dibilang habis untuk menyekolahkan 4 anaknya. Beliau hampir tak bisa membeli barang-barang, bahkan TV pun baru bisa punya dengan membeli TV bekas setelah saya hampir lulus kuliah.

Bapak sangat mementingkan pendidikan anak-anaknya. Teringat menjelang lulus MAN, bapak mengatakan kemungkinan tidak bisa membiayaiku melanjutkan kuliah. Alhamdulillah, ada jalan terang lewat beasiswa masuk universitas (BMU) yang kuterima. Bapak mendorongku untuk mendaftar kuliah, urusan diterima atau tidak adalah urusan nanti setelah hasilnya keluar, kata beliau. 

Alhadulillah rupanya saya lolos seleksi dan diterima di jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Undip Semarang. Rasa senang yang juga dibarengi kebingungan, bagaimana kami akan membayar biaya registrasi, lalu biaya kuliah perbulan, biaya semester, dan seterusnya. Keluarga besar hampir tak ada yang mendukung karena melihat kondisi ekonomi. Namun bapak justru bilang, “kepalang tanggung sudah basak ayuk nyemplung sekalian. Bismillah, Allah Maha kaya, Allah yang akan memberi jalan.”

Begitulah, bahkan beliau sampai sekarang belum bisa merenovasi rumah yang sering kebanjiran karena sambung-menyambung membiayai sekolah keempat anaknya. MasyaAllah. Semoga Allah mudahkan rezeki bapak dan mamak, juga rezeki kami untuk membantu beliau merenovasi rumah. Aamiin. 

 “laa takhof wa laa tahzan, innallaaha ma’ana,” 
Itulah pesan bapak saat saya menangis harus berangkat ke Semarang seorang diri untuk pertama kalinya. Sebelumnya, baru sekali ke kampus ditemani bapak. Kalimat itu juga yang selalu meyakinkanku dan memberi sebersit keberanian saat berada dalam situasi tak tentu.  
“Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia (H.R. Thabrani dan Daruquthni).
Khairunnaas anfa’uhum linnaas, begitu redaksi asli hadits tersebut. Hadits yang sering diucapkan bapak di depan saya dan adik-adik dalam rangka mengajarkan kami_anak-anaknya_ untuk menjadi orang yang bisa memberi manfaat bagi orang lain. Entah dengan ilmu yang dimiliki, waktu, pikiran, tenaga, harta maupun kontribusi bermanfaat lainnya.

Oh ya, sepeninggal simbah kakung, bapak yang melanjutkan keliling desa untuk pengajian selapanan. Semoga ilmu yang disebarkan oleh mbah kakung dan bapak, juga perjuangannya untuk keluarga dan banyak orang menjadi pahala besar di hadapan Allah. Aamiin. 

Semoga Allah lapangkan kubur simbah kakung allahuyarham, memudahkan urusan-urusan bapak dan mamak, memberinya perlindungan dan kesehatan di masa tuanya bersama. Aamiin. 

Semoga bermanfaat, 

Salam,

Posting Komentar untuk "Dua Lelaki Inspiratif"