SMOS: Senang Melihat Orang Senang
Daftar Isi
"Jangankan haters, teman aja ada yang nggak senang lihat kita sukses"
Tulis seorang teman di status WA-nya.
"Jangankan teman, Mbak. Saudara aja ada yang nggak suka dengan kesuksesan saudaranya." balas saya tak lupa dengan tambahan emot nyengir kuda.
Tentunya bukan tanpa alasan hingga muncul kesimpulan seperti di atas.
Saya kadang berpikir, kenapa ada orang yang tidak suka dengan kesuksesan orang lain? Toh sebenarnya (seharusnya) tidak menggangu kehidupannya. Justru hidup akan terasa lebih ringan dan bahagia ketika ikut senang dengan kebahagiaan orang lain.
Alah! Ga usah munafik! Memangnya nggak pernah ngerasa iri?!
Tentu saja pernah! karena rasa itu adalah manusiawi, karena saya manusia bukan malaikat.
Namun bagi saya, lebih iri dengan mereka yang telah hafal Alquran, bisa berhaji atau sudah punya kuota haji terutama saat usia masih muda, juga mereka yang kaya ilmu & aplikasi, mereka yang gemar berbagi, dan sebagainya.
Pernah merasakan hidup di titik nol (atau bahkan minus) membuat saya tak mudah silau dengan kehidupan orang lain. Juga banyak belajar bahwa kebahagiaan dan kesuksesan bukan ditentukan oleh tingginya pangkat/jabatan dan melimpahnya harta benda.
Bukan berarti kami tak menginginkan hidup serba berkecukupan. Hanya saja lebih selow menjalani setiap lakon yang digariskan oleh Allah.
Ungkapan 'Dunia di tanganku, akhirat di hatiku' lebih cocok sebagai gambarannya.
Meski belum sepenuhnya bisa, perlahan belajar untuk merasa cukup dan bersyukur dengan apa yang sedang di tangan sekarang.
Alih-alih mengharapkan sesuatu yang masih dalam impian, lebih baik 'menguliti' setiap jengkal nikmat-Nya. Tentunya kami pun menginginkan menjadi orang kaya dengan harta berlimpah karena dengan itu jalan untuk berbuat lebih (baca: memberi manfaat) semakin lebar.
Siapa coba yang tak ingin hidup serba mudah dan fasilitas lengkap? Namun bukan berarti harus mengikuti selera dan kemampuan orang lain.
Setiap orang ingin punya kendaraan yang nyaman dan up to date. Namun jika belum mampu, selow saja. Banyak alternatif yang bisa dipakai menyesuaikan kemampuan, bukan?
Pernah kami dikira iri dengan seseorang yang baru saja membangun rumah. Waktu itu suami dan saya sama-sama sedang bersemangat 'mengajukan proposal' kepada Allah perihal hunian pribadi sesuai mimpi. Hampir setiap hari di waktu luangnya suami mengamati desain rumah dan mencoba membuat denah rumah impian kami.
Jangan tertawa, ya! Jangankan punya tanah untuk dibangun menjadi rumah, punya uangnya saja belum, tapi kami super Pe-De untuk punya rumah tanpa lewat jalan riba.
Setiap berkunjung ke rumah teman, baik yang sudah lama memiliki rumah atau baru selesai membangun, kami selalu kepo dan melihat desain rumahnya. Tentu saja kami izin terlebih dahulu, dan melihat siapa tuan rumahnya. Hanya teman akrab dan atau saudara yang berani kami tanya-tanya detail.
Suatu hari saat mudik kami juga mengamati dan mengagumi rumah saudara di kampung. Alhamdulillah, ikut senang dengan pencapaian beliau. Saya pun antusias melihat-lihat dan tanya ini-itu (selain biaya, tentunya). Tak terbersit dalam hati saya merasa iri dengki dengan hal itu. Hanya karena sedang terobsesi punya rumah sendiri itulah yang membuat kami membanding-bandingkan denah rumah.
Rupanya, ada selentingan yang sampai di telinga setelah sekian lama. Ada pihak yang ternyata kurang berkenan dengan antusiasme saya dan suami. Dia bilang kami berkunjung hanya untuk melihat rumah, bukan untuk silaturahmi.
Lucu sih, meski awalnya saya baper banget. Setelah dipikir mungkin sesepihak itu salah menanggapi candaan kami atau entah hal lain apa yang sudah tidak saya ingat sehingga dia mengambil simpulan seperti itu.
Biarlah, toh saya tidak iri. Justru senang melihat satu-persatu saudara mendapatkan kenikmatan berlebih dalam urusan materinya.
Pernah juga, tiba-tiba ada orang yang sikapnya berubah drastis setelah saya membeli sesuatu. Awalnya saya mengira saya ada salah atau tak sengaja menyinggung. Duh, nggak enak sekali. Wong beli barang juga bukan yang 'wah' atau apalah, hanya yang sesuai kemampuan.
Benar kata orang Jawa, 'urip mung wang- sinawang' hidup hanya saling lihat-lihatan. Kita tak benar-benar tahu kondisi seseorang. Kita lihat hidup si A terasa lancar, hebat, seperti tak ada masalah sama sekali. Padahal kita tak pernah tahu jalan berliku seperti apa yang telah ia lalui hingga sampai di titiknya sekarang. Bisa jadi si A juga mendambakan kehidupan seperti B, B ingin hidup seperti C, dan seterusnya, tak berujung. Jadi, kenapa tidak fokus saja dengan kehidupan dan kebahagiaan yang ada di hidup kita sendiri?
Kita memang tak bisa memaksa orang lain untuk membenci atau menyukai diri kita. Setidaknya selalu berusaha berbuat baik sudah lebih dari cukup. Meskipun pada praktiknya terkadang dinilai salah.
Kenapa harus membenci ketika kita bisa mencintai?
Kenapa harus merasa susah dengan kesenangan orang lain? Karena senang melihat orang senang, justru membuat hati lapang dan lebih bahagia.
Setuju?
Semoga bermanfaat,
Salam,
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
Btw, aku juga sering kok bikin denah rumah impain, mengkhayal dekorasi bakalan begini dan begitu juga sering. Wkwkw. Kan siapa tau khayalan itu segera diijabah.