Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Para Perempuan Cahaya


Tidak berlebihan rasanya menyebut mereka para perempuan cahaya. Perempuan-perempuan yang menjadi penerang bagi orang-orang di sekelilingnya.
Seorang ibu, yang kupaggil ‘Mak’. Mungkin tak seperti ibu lain yang dengan lugas mengungkapkan cinta kepada para buah hatinya; ia hanyalah perepuan lugu dan sederhana. Ungkapan cinta kepada orang-oran di dekatnya seringkali berwujud omelan dan celaan, seolah tak pernah ada yang beres di matanya.
Mak, seorang istri setia dan tangguh. Ia rela ikut membanting tulang di tengah kondisi keluarga yang kadang tak menentu. Kulitnya legam terpanggang mentari, wajahnya kusam karena tak pernah sedikitpun mencicipi perawatan kecantikan. Hanya bedak murahan yang kadang ia pakai untuk sekadar membuat wajahnya sedikit ceria tanpa mampu meghapus kerutan yang kian hari kian banyak.
Setiap hari ia harus membantu bapak di sawah meski seabrek pekerjaan rumah pun ia kerjakan sendiri. Ia rela hampir tak pernah membeli baju baru agar kami bisa membeli baju minimal setahun sekali saat lebaran tiba. Ia rela tak ada fasilitas penunjang yang memadai di rumah, demi membiayai pendidikan anak-anaknya. Ya, hanya ada rice cooker murahan dan TV jadul 14” tempatnya mencari sedikit hiburan; TV yang dibeli second dari tetangga dan tombol-tombolnya sudah aus.
“Capek ya Nduk? Sini Mak pijitin,” katanya setiap kali anak-anaknya pulang kampung saat libur kuliah. Wajahnya tak mampu menyembunyikan lelah yang telah dirasa semenjak pagi hari, tapi ia ingin membuat anaknya nyaman di rumah. Ia yang selalu bangun pertama kali lalu membangunkan kami satu persatu dengan rupa-rupa kehebohan.
Kami mencintainya, tapi tidak mampu mengungkapkan dengan kata-kata. Seringkali banyak kesal dan kecewa padanya, tapi bagaimanapun mengalir darahnya di dalam darah kami. Beliaulah tempat kami mengadu dengan permasalahan kami, meskipun tak jarang saat mengadu justru mendapat omelan.
Bagaimanapun, beliau lah guru pertama kami. Yang mengajarkan kami a-ba-ta hingga ya di tengah letih lelahnya mengurus rumah tangga dan membantu bapak di sawah. Mak lah yang mengajari kami shaalat dan do’a-do’a sesaat menjelang tidur. Beliau juga yang selalu menyiapkan banyak hal untuk kami. Menyemangati kami untuk bersemangat menimba ilmu setinggi-tingginya, tak seperti beliau yang hanya tamat SD.  



Kutemukan sosok perempuan cahaya yang lain, dalam diri seorang ibu yang belum lama kukenal. Namun terasa sangat akrab meskipun saat itu belum sekalipun bertemu muka. Seseorang dengan senang hati menceritakan kisah perempuan cahaya itu.
“Apa kau banar-benar ingin mengenalnya?” tanyanya sambil menatapku masygul.
“Tentu” jawabku meyakinkan.
“Baiklah…”
Dan mengalirlah dari bibirnya kisah seorang perempuan, lebih tepatnya seorang ibu. Ia seorang ibu dengan tiga putra; tapi hanya dua putranya yang sampai saat ini masih mendampinginya. Putra pertamanya telah kembali diambil Allah saat menginjak bangku SMA. Ia bersama suami tercinta berjuang membesarkan anak-anaknya. Mendidik mereka agar tumbuh menjadi orang-orang tangguh.
Ia perempuan mulia, yang menjaga diri dan kehormatannya saat sang suami harus bertugas ke luar kota dalam jangka waktu yang lama.
Ia seorang ibu yang tegar menjaga anak-anaknya,
Ibu yang lembut mengasihi putranya; tangannya senantiasa siap meraih anak-anaknya. Telinganya senantiasa terjaga untuk mereka, bahkan malam-malamnya menjadi sedemikian sempit karena teriakan-teriakan ‘cinta’dari anaknya.
Perempuan cahaya, seorang perempuan mandiri, wanita karier yang tak melupakan kewajibannya terhadap keluarganya. Kehidupan  yang damai dan tenteram memayungi mereka, dan ia berhasil mengantarkan kedua putranya untuk meraih cita-cita, malanjutkan studi di sebuah universitas ternama di Jawa Tengah.
Hingga suatu saat, ia mendapatkan ujian dari Allah. Saat suamninya semakin disibukkan dengan pekerjaan jelang pensiunnya, dan kedua anaknya telah tumbuh dewasa; ia harus menerima kenyataan bahwa sel-sel dalam tubuhnya tumbuh abnormal. Sel-sel yang seharusnya tidak tumbuh namun karena kuasa Allah harus tumbuh dan merusak sel-sel tubuhnya yang lain.
Perempuan cahaya hanya menangis dalam diamnya. Bayangan untuk menikmati masa pensiunnya menjadi kabur dan pekat. Sepekat malam tak berbintang yang dingin mencekam.
“Ibu kena kanker payudara,” kalimat itu ia lontarkan dengan datar. Tanpa ekspresi.
Sementara si anak yang mendengar itu seperti dipaksa menelan pil pahit. Ingin ia muntahkan tapi entah dorongan kekuatan apa yang memaksa rasa pahit itu merasuk ke dalam melalui tenggorokan. Ah, lebih tepatnya rasa pahit itu ada di hatinya, yang memaksa air matanya pun menganak sungai.
“Sejak kapan, Bu?” hanya itu yang diucapkan laki-laki muda itu demi mendapati ibunya terkasih seolah kehilangan harapan.
“Ibu nggak tahu, tapi ini sudah cukup parah...” lirih ia berucap.
Segalanya berlalu dalam ketidakpastian, hingga beliau berjuang di meja operasi dan melalui masa-masa sulit saat kemoterapi.
Kulit yang mengeriput dan kering, rambut yang rontok satu persatu hingga kepalanya lebih mirip shaolin di film-film China masa lalu, bibir dan tenggorokannya pun tak kalah kering hingga makanan tak bisa masuk. berkali-kali setiap kali makan, tak berapa lama langsung dimuntahkan kembali. Berbulan-bulan hanya bisa minum susu yang harganya tak bisa dibilang murah.
Masa-masa setelah kemoterapi adalah masa yang sulit. Selain tubuh yang berubah menjadi kurus kering, nafsu makan tidak menentu, emosi pun menjadi tidak stabil. Bayangan kematian selalu membayanginya setiap saat. Terlebih hanya seorang anaknya yang bisa menemani karena seorang lagi tengah menjalani masa ujian kuliah di luar kota. Dan saat-saat seperti itu, beliau masih juga memikirkan anak-anaknya.
Qadarullah, beliau bisa melewati semuanya dengan tegar, sedikit demi sedikit kekuatan dan semangat untuk sembuh kembali menyala. 16 suntikan kemoterapi beliau jalani dengan memohon yang terbaik dari Allah. 16 suntikan dengan biaya yang tak sedikit, tentu saja.
Subhanallah walhamdulillah, setelah kemoterapi yang menyesakkan itu, beliau berangsur pulih dan menjadi seorang breast cancer survivor. Rambutnya kembali tumbuh subur, badan kurus keringnya berangsur isi kembali, semangatnya untuk hidup terus bertambah dan bertambah. Kini beliau menjadi seorang perempuan tegar yang selalu bersyukur atas nikmatNya.


Perempuan-perempuan cahaya, ibu bagi anak-anaknya, madrasah pertama bagi generasinya, istri bagi suaminya, dan anak perempuan orangtuanya. Menjadi ibu tak sesederhana kata-kata. Ia adalah pembuktian ketaatan, keikhlasan, kekuatan, kelembutan, pengorbanan, perjuangan, dan helaan napas di setiap detik seorang perempuan. Tentu, ia pun membutuhkan sokongan dari orang-orang di sekelilingnya.
Ibu, ibuku, dan ibu keduaku. Semoga selalu menginspirasi.
Selamat hari ibu, meski tak ada sehari pun yang bisa menggantikan hari-harimu. Meski setiap hari seharusnya tiada terlewat tanpa mengingat dan mencurahkan kasih sayang untukmu.
Kami tahu, kami tak pernah lepas dari ingatan dan ucapan doa yang terlantun dari bibirmu. Semoga kami pun menjadi anak shalih yang selalu menyebutmu dalam bait-bait do’a kami. Aamiin...
***************************************************************************
Aaaargh! Menuliskan tema arisan kali ini sambil mewek-mewek di depan laptop. Mengingat begitu banyak salah dan dosa yang (mungkin) telah kulakukan terhadap kedua ibuku.
Terimakasih Mba Chella si Guru Kecil dan Mba Noorma Fitriana yang menentukan tema tentang ibu di #ArisanBlogGandjelRel. Mba Chella dan Mba Noorma yang sama-sama seorang ibu dan berprofesi sebagai pendidik semoga menjadi ibu dan guru yang hebat untuk melahirkan generasi hebat bermanfaat dan berkarakter mulia.
Penasaran dengan kedua blogger famous ini? langsung kepo-in blognya aja ya Temans.
Semoga bermanfaat,
Salam,



17 komentar untuk "Para Perempuan Cahaya"

  1. Ahh.. tema yang berat. Aku pun ketika menulis tentang sosok Ibu, pasti air mata berjatuhan. Rasanya diri ini masih penuh salah dan belum mampu membahagiakaannya.


    Luar biasa itu. Mampu menjadi seorang breast cancer survivor. Semoga kesehatan selalu menyertai Ibu ya, Mbak. :)

    BalasHapus
  2. Ibu pasti senang ditulis indah begini, Mbak. Semoga kita semua jadi anak yang membahagiakan ibu di dunia dan akhirat.

    BalasHapus
  3. jadi pingin pulang dan peluk ibuku mbak.....terharu banget nih ceritanya ..

    BalasHapus
  4. aamiiinn... makasih doanya yaa mbak.. tidak ada kekuatan kecuali dari Allah... kisah inspiratif yang mengharukan.. semoga kita dan keluarga kita selalu diberi kesehatan yaa mbak :)

    salam untuk ibu :*

    BalasHapus
  5. Sedih bacanya, pokoknya kalo udah beekaitan sm Ibu bikin berkaca-kaca dah. Semoga letih dan seluruh pengorbanan para Ibu Allah ganti dengan indahnya surga yang paling tinggi. Aamiin

    BalasHapus
  6. Duuh..jd ikut mewek... Salam hormat utk kedua ibu hebatmu yaaa...

    BalasHapus
  7. Ibu memang sosok tangguh yang nyata di depan mata. Saat masih kecil, kita tak pernah paham perjuangan seorang ibu. Ternyata meski hanya terdiri dari 3 huruf itu I...B...U , tapi jutaan kata tak sanggup untuk menggambarkan ketegarannya

    BalasHapus
  8. Ibu memang sosok yang luar biasa. Saya punya ibu yang humoris sekaligus galak dan cerewet, jadinya tidak menangkap sisi melankolis dari seorang ibu. Apapun keadaannya, ya begitulah, disikapi dengan membuat orang lain tertawa. Kok bisa? saya juga nggak tau...

    BalasHapus
  9. sosok ibu memang sangat tangguh ya mbak. terimakasih untuk arisannya :)

    BalasHapus