Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Secangkir Kopi dan Segenggam Cinta Mamak




1 Oktober, selain diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila, ternyata ada Hari Kopi Internasional.
Hm, dan hari ini Sang Merah Putih yang semalam terpasang setengah tiang, mesti menerima kenyataan mendapat guyuran hujan dari langit. Seakan ikut berduka dengan peristiwa puluhan tahun silam yang merenggut tak sedikit nyawa pejuang terbaik Indonesia.
Ingin hati ikut menonton film fenomenal itu, apa daya hujan deras dan kekhawatiran akan banjir lebih menggerakkan kami untuk segera membereskan barang-barang di rumah, menyelamatkan apa-apa yang tergeletak di lantai agar tak tersapu banjir (lagi).
Hari kesaktian pancasila, saya merasa tak perlu gembar-gembor mengatakan 'Aku Pancasila' dan sejenisnya, karena ia tak butuh ucapan dan janji, hanya butuh bukti.

Apa yang sudah saya perbuat untuk negeri ini? Pertanyaan ini sukses membuat saya terdiam tak bisa msnjawab. Entahlah, selain berdoa untuk keutuhan dan kerukunan NKRI juga untuk keadilan hukum dan segala hal yang carut-marut, saya hanya bisa berusaha menjadi warga yang baik, itu saja.
Hari ini pikiran saja justru lebih banyak tersita pada secangkir kopi, yang beberapa hari terakhir amat kurindukan.
Hiks. Sejak Jumat kemarin dokter menyatakan berat badan janin (BBJ) dalam kandunganku sudah besar dan saya harus diet karbo-gula (lagi), galau melanda hatiku (lebay).
Iya, kemarin-kemarin sudah ngurangin karbo dan gula.  Tapi kalau minum kopi masih pakai sedikit gula. Kalau sebelumnya suka sekali dengan kopi nasgitel/panas-legi-kentel (Panas-manis-kental) sekarang yang penting bisa ngopi, encer sekali dan gulanya hanya satu sendok teh untuk satu mug dengan 1 -  1 1/2  sendok teh bubuk kopi.
Baiklah, harus mencoba lagi minum kopi tanpa gula meskipun sensasinya tak sepuas minum kopi nasgitel. Hm..  Demi ikhtiar bisa melahirkan VBAC (Vaginal Birth After Caesarean).
Ah, ya. Saya sebenarnya mau bercerita tantang kopi, memang. Kopi yang sudah menjadi 'sahabat' lemburku sejak masih SMP. Awalnya tiap pagi saya hanya melihat Mbah Putri dengan ritual pagi-nya menyeduhkan teh/kopi tubruk untuk beliau dan Mbah Kakung. Ba'da subuh mbah menjerang air di atas tunggu kayu bakar. Begitu air mendidih, beliau menyiapkan cangkir berisi kopi/teh. Air yang baru diangkat dari tunggu itu pun langsung dituang ke dalam cangkir. Hmmm... Aroma kopi/teh yang menguar harum langsung membangkitkan selera. Setelah menuang air untuk minum, air dalam cerek pun dimasukkan ke dalam termos.
Sesekali beliau minum kopi/teh pahit, kadang dengan gula pasir dan tak jarang sambil menyesap gula aren yang dibelinya langsung dari pembuat gula aren di desa tetangga. Aroma kopi racikan mbah itu lama-kelamaan menggodaku, sehingga saya pun ikut mencoba minum kopi.
Ah ya, dulu kopi bagi keluarga kami bisa berfungsi untuk mengobati masuk angin. Caranya dengan menyeduh kopi tubruk dengan gula, lalu meminumnya sambil ngemut sedikit garam. Entah bagaimana tinjauan ilmiahnya, mungkin karena sugesti tinggi jadi cukup manjur juga 'obat' itu. Setelah meminumnya biasanya keluar sendawa dan badan menjadi lebih lega.
Bapak memiliki sepetak kecil ladang kopi, dan masa kecilku pun pernah bergumul dengan rerimbunan kopi. Mencari kopi-kopi yang rontok di kebun kopi, lalu hasilnya dijual. Tak seberapa memang, tapi bagi anak kecil waktu itu adalah suatu kebanggaan bisa menaklukkan ladang yang jaraknya cukup jauh dari kampung, kadang sambil berhujan-hujanan berpayung daun pisang, lalu mendapatkan uang dari hasil jerih payah itu.

Biji kopi yang siap disangrai

Tak jarang saya pun harus membantu bapak menunggui jemuran kopi di halaman agar tidak diobrak-abrik ayam yang berkeliaran. Awalnya kopi-kopi itu dijual untuk menambah pemasukan, lumayan meski panen kopi bapak hanya beberapa kilo. Lama kelamaan Mamak mencoba membuat bubuk kopi sendiri, lebih murah dibanding beli bubuk kopi di warung.
Kopi-kopi yang telah kering ditumbuk atau jika punya uang, akan digiling ke tempat penggilingan beras dan kopi. Hasilnya, biji-biji kopi yang putih kehijauan itulah yang akan diproses menjadi bubuk kopi.
Wajan tanah sederhana untuk menyangrai kopi
Menggunakan peralatan sederhana, Mamak pun beraksi. Hanya mengandalkan wajan yang terbuat dari tanah, bara api, centong sayur dari batok kelapa, dan tampah untuk menuang kopi yang sudah disangrai.
Wajan tanah itu akan dibiarkan di atas tunggu selama beberapa lama, setelah dirasa panasnya pas barulah biji kopi dituang ke atasnya lalu diaduk tanpa henti agar matang merata, tidak sebagian gosong dan sebagian masih mentah.
Proses ini bisa memakan waktu lebih dari 1 jam,  tergantung kondisi api dan banyaknya kopi yang disangrai. Jika telah kecoklatan dan dalamnya pun sudah matang, tak perlu menunggu gosong kopi itu akan diangkat dari wajan, diratakan di tampah agar cepat dingin dan tak menambah gosong.
Aroma kopi lagi-lagi menguar harum saat proses ini. Rasanya enak meski bercampur dengan aroma asap dari kayu dan bara api.
Setelah menjadi kopi dingin, kemudian ditumbuk atau digiling dan selanjutnya siap untuk diseduh. Jangan tanya bagaimana caranya menyeduh, karena bagi kami minum kopi cukup dengan takaran sesuai selera lalu menyeduhnya dengan air dari termos atau langsung dari tungku.
Inilah kopi paling mantabs bagi saya, karena dibuat bukan sekadar untuk kenikmatan minum kopi, tetapi juga keringat, perjuangan dan cinta untuk orang-orang terkasihnya.
Ah ya, baru sekali saya merasakan pengalaman cupping dan mencoba ngetes kopi mana yang paling lezat dan merupakan kopi spesialti.
Karena kantong saya bukan kelas coffee shop dengan kopi spesialti, maka cukuplah kopi buatan mamak itu setia menemani. Terlebih saat menikmati setiap tegukannya, terbayang wajah sang membuat.
Mari ngopi, dengan cinta dan semangat!
Semoga bermanfaat,

Salam,

2 komentar untuk "Secangkir Kopi dan Segenggam Cinta Mamak"