Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kenangan yang Tertinggal di Kereta Diesel Semarang – Blora

Pengalaman Pertama Kali Naik Kereta Diesel Semarang - Blora


Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum, Temans.
#ArisanBlogGandjelRel kali ini temanya adalah ‘Tentang Yang Pertama’. Kelihatannya sih sepele dan ringan seperti kata Mba Marita Ningtyas dan Mba Dini Rahmawati waktu launching tema ini. iya sih, ada banyak ‘yang pertama’ di kisah hidup kita. Mulai dari pertama sekolah, pertama pergi ke kota, pertama kali jauh dari orangtua, pertama kali merantau, pertama jatuh cinta, pertama bertemu calon suami, pertama hamil dan melahirkan, pertama punya pengalaman hidup luar biasa, pertama kali mengalami pergolakan hati, pertama kali bisa memgambil keputusan besar dalam hidup, pertama melihat hantu *eh dan pertama lainnya.
Tapi saya malah bingung, ehehehe. Dan setelah ditelusuri, saya mau cerita kisah lama saat pertama kali naik kereta saya, karena beberapa ‘pertama’ sudah pernah diceritakan.

Tahun 2006, belum genap setahun saya tinggal di Semarang dan berstatus mahasiswa. Saat itu, saya belum pernah mencicipi rasanya naik kendaraan selain bis dan mobil. Jangankan naik pesawat terbang, naik kereta api pun belum pernah karena memang sudah lama di Wonosobo tak ada lagi kereta. Naik kapal besar juga belum, baru pernah naik perahu kecil di waduk saat mengunjungi saudara di Wadaslintang.  
Suatu hari menjelang ulang tahun ke 18 saya ((penting)) roommate kosku akan melangsungkan akad nikah dan resepsi di Randublatung, Blora. Beliau ini sudah berstatus karyawan di RS Roemani yang tak jauh dari rumah kos. Kebetulan beliau menikah dengan kakak kelas dan saya pun mengenalnya. Maka warga kos berbondong-bondong merencanakan untuk pergi menghadiri akad nikah tersebut.
Awalnya si Mbak perawat itu menawariku untuk berangkat dengan mobil sehari sebelumnya dan membantu menjadi among tamu, tapi rupanya ada outing class yang nggak bisa kutinggalkan. Iya lah, sayang kalau bolos outing class karena bobotnya 2 jam kuliah. Apalagi acaranya di Maerakaca, kan asyik sekalian piknik. Hihi. Untunglah ada kakak kelas yang juga tidak bisa membantu among tamu sehingga bisa berangkat bareng dengan teman dari kos yang lain juga.
Malamnya di kos hanya ada kami berdua. Sebagian sudah berangkat ke Blora dan sebagian lagi sedang ada acara kampus yang menginap. Ba’da subuh kami langsung berangkat ke titik kumpul, salah satu kos muslimah di kawasan Sriwijaya. Diboceng sepeda oleh kakak kelas kami meluncur membelah pagi, melewati gang-gang yang tak diportal.
“Kereta berangkat jam setengah 6! Ayo buruan!” keributan itulah yang terjadi di pagi hari itu. Penghuni kos yang akan pergi ke Blora semakin panik dan sibuk mondar-mandir. Setelah semua siap, muncul masalah karena helm tak mencukupi.
Hm... saya pikir tadinya mau nyarter angkot untuk berangkat ke stasiun, ternyata diboceng motor sama teman lain.
Yawes, nggak usah pakai helm. Ayo Dek, berangkat sekarang, bismillah,”
Waduh, saya pun menurut apa kata si Mbak, seperti kerbau dicocok hidungnya. Tubuh si Mbak yang subur cukuplah untuk menyembunyikan diri di belakang. Beliau sigap melewati jalan tikus dan setiap kali harus lewat jalan besar apalagi traffic light, jantung makin kencang berdegup khawatir tertangkap polantas. Terlebih si Mbak ngebut nggak ketulungan dan saya bonceng seperti emak-emak pakai jarik, makin eratlah tangan saya memegang begian belakang jok sepeda motor.
Alhamdulillah, sampai di Stasiun Tawang dengan selamat. Kami pun berbondong-bondong menuju peron. Oia, waktu itu aturan di stasiun rapi belum seperti sekarang lho! Siapapun bebas keluar-masuk stasiun dan kereta. Pun dengan penjual asongan, masih banyak yang berkeliaran di sekitar stasiusn juga di atas kereta yang berhenti. Suasana yang sumpek dan sangat tidak kondusif, pantaslah waktu itu banyak penumpang kereta tanpa tiket alias penumpang ilegal.
‘Kereta Api Blora Jaya Semarang Tawang tujuan Cepu akan segera berangkat, penumpang mohon untuk segera naik ke atas kereta,” atau gimana lah readaksi pemberitahuan dari petugas KAI yang memberi informasi seputar keberangkatan kereta.
Tuuuuut!!!!’ terdengar peluit kereta dibunyikan.
Kami makin panik karena belum membeli tiket.
“Naik dulu! Yang beli tiket kami berdua!,” salah seorang Mbak kos berteriak dan menyuruh kami segera naik kereta, berbaur dengan puluhan (atau mungkin ratusan) penumpang yang memadati gerbong.
Sigap kami pun mencari tempat berpijak di dalam gerbong kereta. Semua tempat duduk telah dipadati penumpang, celah-celah untuk berdiri pun hampir tak ada lagi. Masih ditambah dengan riuh rendah hilir-mudik penjaja makanan. Benar-benar kondisi yang tidak menyenangkan di pagi itu.
“Bismillahi tawakkaltu ‘alallah laa hawla wa laa quwwata illaa billaah..”
Kereta diesel itu melaju meninggalkan stasiun, menyisakan bunyi panjang dan debu-debu beterbangan di musim kemarau itu.
Inilah pengalaman pertama saya naik kereta. Sungguh saya tak berharap kondisinya seperti saat ini. sebelumnya saya membayangkan naik kereta dan bisa duduk nyaman di dalam gerbong sambil menikmati perjalanan Semarang – Blora.
Nyatanya, kereta ekonomi tak senyaman yang kubayangkan. Iya sih, untuk ukuran perjalanan selama kurang lebih 3 jam kami hanya membayar Rp. 5000 (4500 tiket kereta dan 500 untuk sumbangan PMI). Jika dibandingkan naik bis Semarang – Wonosobo yang waktu tempuhnya kurang lebih sama biayanya berkali lipat, waktu itu sekitar 12.000. Tiketnya pun masih berupa potongan karton segi empat kecil seperti kartu bermain anak-anak.  
Kereta melaju ke arah timur, menantang mentari pagi yang mulai garang menyapa manusia. Udara panas dan pengap mulai menyelimuti dalam gerbong. Suara penjaja makanan masih saja terdengar. Sesekali mereka melintas dengan dagangan yang hampir sama.
Jenuh, terlebih perut keroncongan tak sempat terisi apapun sejak bangun tidur. Kaki mulai kesemutan menahan beban tubuh, keringat bercucuran karena panas dan pengap, jendela kereta tak cukup menjadi lubang masuknya udara segar karena banyaknya orang yang berebut napas.
Kubayangkan kereta akan melaju cepat dan kami akan sampai di stasiun Randublatung tepat waktu. Nyatanya tidak, kereta itu berhenti hampir di setiap stasiun kecil dan menaik/turunkan penumpang. Bahkan di stasiun kecil yang bentuknya tak jauh berbeda dengan dangau pinggir sawah dan jauh dari perkampungan penduduk pun kereta tetap berhenti.
Fyuuh... entah sudah berapa stasiun yang dilewati dan penumpang semakin berjubel. Siang makin meninggi namun belum ada tanda-tanda kami akan segera sampai tujuan.

Sega Pecel Gambrengan aka SPG di stasiun Gambrengan Purwodadi Grobogan
ilustrasi: sepincuk nasi pecel
sumber gambar: moode. co

Ah ya, jika Teman-teman pernah naik kereta Jakarta/Semarang-Surabaya pasti akan menemui kuliner fenomenal yang biasa untuk sarapan, apalagi jika bukan SPG alias Sego Pecel Gambrengan. Gambrengan adalah nama tempat di Kabupaten Grobogan (Purwodadi).
Mbok-mbok penjual SPG dengan sigap memasuki kereta begitu tiba di stasiun Gambrengan. Dengan cekatan mereka masuk membawa bakul berisi dagangan. Tak terganggu dan dengan banyaknya penumpang mereka melayani pembeli yang ingin menikmati SPG dalam pincuk daun pisang lengkap dengan rempeyek udang/Ikan asin/kacang atau kerupuk gendar. Hm... terlihat nikmat. Sayang saya tak berani memesan karena takut tak bisa menikmati makanan saat kereta kembali melaju.
Lain kali jika ke Purwodadi, harus mencoba kuliner satu ini. Katanya sekarang tak hanya dijajakan di stasiun saja melainkan bisa didapatkan di warung-warung makan utamanya di Pujasera seperti kawasan Simpanglima Purwodadi.
Setelah melewati stasiun demi stasiun, akhirnya sampai juga kami di stasiun Randublatung. Begitu turun, rasanya takjub karena banyak sekali penumpang yang saling mengenal dengan tujuan yang sama, kondangan ke pernikahan Mbak Kos. Waktu itu kami melanjutkan perjalanan dengan naik becak, melewati kebun jati yang meranggas dan tanah-tanah yang retak kekeringan.
Pulang dari kondangan adalah masalah baru lagi bagi kami. Banyak sekali penumpang yang menunggu kereta di stasiun Randublatung, utamanya rombongan tamu nikahan baik yang berangkat pagi tadi maupun yang telah di sana sejak kemarin sore. Belum lagi penumpang langganan seperti mahasiswa yang akan kembali kuliah dan pekerja yang telah menghabiskan masa akhir pekan bersama keluarganya.
Mau tak mau seluruh penumpang dengan tujuan yang sama itu harus naik kereta yang sudah penuh sejak kedatangannya. Kami serombongan mendapat tempat yang lebih sempit dari pagi hari tadi. Saya nylempit di hadapan serombongan Bapak-bapak, iya diantara dua deret kursi kereta. Terbayang kan betapa kaki nggak bisa gerak dan susah napas karena terdorong dari arah depan.
Tak perlu membahas tentang bapak-bapak yang nggak toleran sama kaum perempuan, karena nyatanya semuanya begitu. Tak ada satu pun bapak/mas yang menawarkan tempat duduknya. Mereka malah asyik ngobrol sambil merokok di tengah hawa panas dalam gerbong.
Saya berdiri tepat di bawah jendela, dan setiap kereta berhenti di stasiun saya bisa sedikit menghirup udara segar lewat jendela tersebut. Lumayan daripada terus-terusan pengap.
Perjalanan yang harusnya 3 jam itu menjadi lebih lama, terlebih kereta pun harus berjalan pelan jika ada sapi yang menyebarang. Amazing bukan?

Seandainya bisa naik kereta senyaman dan secanggih ini
Dan kejadian paling epic adalah saat salah seorang dari rombongan kami ambruk nyaris pingsan. Tak ada satu pun penumpang yang menawarkan tempat duduk. Sampai-sampai Mbak kosku yang lain lagi harus meminta bantuan kepada mereka untuk memberi sedikit tempat duduk karena ada yang hampir pingsan. Yasalam...! semoga kita nggak jadi orang seperti mereka, yes! Kalau memang tujuannya lebih jauh dari kami toh bisa meminta bergantian atau bagaimana enaknya, win-win solution.
Alhamdulillah, betapa leganya saat akhirnya kami sampai di stasiun Tawang lagi (Hm... sebenarnya saya lupa sih di Tawang atau di Poncol, wkwkwk). Begitu turun dan merasakan udara stasiun rasanya seperti baru keluar dari oven. Rupanya panasnya udara Semarang masih kalah dengan hawa di dalam gerbong, hehe.
Hm... sungguh pengalaman pertama naik kereta yang sangat melekat dalam ingatan. Mungkin jika pertama kali itu mendapat kereta yang nyaman, kenangannya tak akan terpatri hingga sedalam ini.
Teman-teman punya pengalaman seru naik kereta juga? sharing yuk!

Salam,  

14 komentar untuk "Kenangan yang Tertinggal di Kereta Diesel Semarang – Blora"

  1. wah, seru banget pengalamannya. Aku juga pernah naik kereta yang penuh sesak kayak gitu dan bertekad gak akan naik kereta kayak gitu lagi.Ampuuunn :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihi. pertama kalinya naik kereta malah dapat pengalamannya dahsyat banget :P

      Hapus
  2. Apalagi kalau naik kereta pas lebaran. :'D Desek2an kaya nonton konser dangdut gratisan.

    BalasHapus
  3. Ampun deh kalau desek2an di kereta. :'D Mending naik bus aja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang kereta malah nyaman banget sih, nggak kaya dulu

      Hapus
  4. Seru yah. Aku jadi inget, pernah nebeng pulang kantor ga pake helm. Pas lampu merah ada polisi, aku malah senyumin, disamperin ma tuh polisi akhirnya ketilang lah sudah.

    BalasHapus
  5. Aku juga pernah beli pecel Gambrengan waktu di kereta, mau ke Surabaya kayanya dulu. Seru-seru gimana gitu memang naik kelas ekonomi di kereta, hehe. Makasih ya mbak artikelnya.

    BalasHapus
  6. Aku pernah naik kereta umpel2an dari Jakarta smp Purworejo, parah banget..

    BalasHapus
  7. Tahun 2015 naik kereta ke surabaya, aku masih ketemu SPG sayangnya suami beli satu. Jadi berasa rebutan waktu makan, hahahaa

    BalasHapus