Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kenangan 'Manis' Tak Terlupakan di Atas Kereta


Masih seputar kereta api, kali kedua naik kereta api adalah waktu pergi ke Tegal. Kepergian kala itu bukan direncanakan dan bukan dalam rangka traveling. Suatu pagi kami sedang ada agenda kampus di sekitar kampus atas. Tiba-tiba mendapat kabar ibu seorang adik kelas yang telah lama sakit berpulang. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un... belum lama kami membezuk beliau yang dirawat di Rumah sakit swasta di Semarang.
Selang beberapa menit, muncul pesan kedua yang mengatakan jika ingin ikut takziyah segera merapat ke stasiun Poncol, naik kereta bisnis Semarang  -  Tegal pukul 8. Subhanallah, saat itu pukul 7 lebih dan kami berlima masih di area kampus atas. Salah seorang dari kami segera menelpon taksi untuk membawa ke stasiun. Sepanjang perjalanan kami berdebar tak karuan, sembari meminta pak sopir taxi untuk ngebut.

Untunglah sampai stasiun masih belum tertinggal kereta api dan tiket telah disiapkan oleh teman yang sebelumnya memberi kabar duka.
Bismillah, kami berangkat dengan antusias karena sebagian dari kami baru pertama kali menumpang kereta. Perjalanan tanpa rencana itu cukup menyenangkan terutama karena pemandangan indah pantai pantura dan jajaran persawahan sepanjang jalan.
Kereta bisnis dengan tiket seharga 26ribu itu membawa kami sampai di Tegal menjelang dhuhur, tepat waktu sesuai jadwal. Dengan jalan kaki kami menuju rumah duka yang tak jauh dari stasiun.
Menjelang pulang, salah seorang kakak kelas memanggil kami.
"Kalian pulang naik kereta lagi kan?"
"Iya Mas, gimana?"
"Jadi gini, tadi pagi itu ada miskom, sebagian bilang iya mau berangkat bareng naik kereta ternyata nggak datang padahal tiket sudah dibeli."
"Trus?"
"Kalian pulang ke Semarang pakai tiket ini. Ada 4 lembar tiket, kalian berlima jadi belilah 1 lagi di stasiun."
"What?! Gila ya! Masa pulang ke Semarang pakai tiket tujuan Tegal?"
"Ya mau gimana lagi? Atau kalian mau ganti 4 tiket ini? Ini belinya pakai duit, sama-sama anak kos."
Duh! Rasanya kesal sekali di dalam hati, si kakak kelas otoriter!. Tapi dilema juga sih, kasihan sama adik kelas yang uangnya dipakai untuk beli tiket. Dan kami pun hanya membawa sedikit uang, tak ada persiapan sama sekali.
"Udah sana berangkat dulu ke stasiun, kalau nanti ketahuan di atas kereta tinggal bayar. Beres kan?" ujarnya lagi.
Dengan perasaan campur aduk kami menuju stasiun, antre di loket untuk membeli 1 tiket ke Semarang. Tersisa tiket berdiri karena kami memesan tiket hanya beberapa menit sebelum jadwal kedatangan kereta.
Bismillah...  Begitu ya rasanya melanggar peraturan, tak ada rasa tenang sama sekali.
Tak berapa lama kereta datang, dan 1 tiket di tangan kami adalah tiket berdiri.
"Udah, duduk aja dulu yuk, tuh ada bangku kosong." Ajakku ke Teman-teman.
"Lha kan kita dapatnya tiket berdiri?"
"Nggak apa-apa, kita tunggu sampai ada yang datang, kalau nggak ada kan lumayan. Kalau bukan kita yang di sini, pasti yang lain lah yang akan menduduki," lanjut temen saya yang lain yang sejurus kemudian kuiyakan.
Maka kami duduk berhadapan (lagi) di kursi itu.
Perasaan waswas masih terus menghantui. Bagaimana nanti saat kondektur berkeliling gerbong ngecek tiket?
"Tidur aja yuk, atau pura-pura tidur, semoga nggak ada yang punya hak atas kursi ini."
Maka kami berusaha memejamkan mata, sembari menahan degup jantung yang tak karuan.
Kami terbangun lantaran bunyi 'cekrak-cekrek sang kondektur kereta mengecek tiket.
Ya Allah...!  Pak kondektur sudah sampai gerbong ini! Gimana nih? Semoga aman.
Kami saling lirik dan perpandangan penuh arti. Mulut dan hati merapal doa apa saja yang kami ingat.
Beberapa langkah lagi kondektur sampai di tempat duduk kami. Keringat sebesar biji jagung bercucuran di dahi dan tubuh.
Napas tertahan saat beliau benar-benar telah sampai dan salah seorang teman yang membawa tiket mengangsurkannya.
"Lima orang ya?  Semarang?"
"Iya Pak"
'Cekrak-cekrek!' akhirnya bunyi itu membuat kami lega. Namun aura ketegangan masih melingkupi kami. Sebelum kondektur meninggalkan gerbong, kami hanya diam dan lagi-lagi saling berpandangan.
Fyuuuh...! 
"Ndlrjrhbr&_]%•€™•¥£\¥]...]©]}}[[<[<`|`"
"Cndkdhheue.$-2'!5"5zsvwhwgqerr"
Riuh rendah suara kami bersahutan dalam bisik-bisik.
"Alhamdulillah, nggak diturunin di jalan." ucapku sembari nyengir kuda.
Dan akhirnya kami tertawa tertahan, menertawakan kekonyolan kami hari itu. Nekat dan konyol yang membawa kami sampai ke Semarang dengan selamat.
Tentu Allah lah yang mengatur semuanya, termasuk 'kecurangan' yang tak bisa dilupakan hingga sekarang. Semoga Allah memaafkan kami atas hal itu.
Entah sebenarnya si Bapak Kondektur mengetahui perihal tiket itu atau tidak. Tapi menurut teman yang membawa tiketnya, si Bapak sepertinya mengetahui hanya saja beliau diam. Terimakasih ya Pak, jika memang dulu kau tahu.
Mungkin kami terlihat seperti anak-anak mahasiswa gembel yang butuh dikasihani, di dalam kereta dengan wajah kucel bangun tidur. *eh
Sssttt! Ini rahasia ya Temans, aib sih sebenarnya kalau diceritain. Tapi jadi kisah lucu-haru yang mengikat persahabatan kami hingga saat ini.
Jangan bilang-bilang yang lain ya, cukup Kamu aja yang tahu. Iya, Kamu.


Salam manis manis legit madu *eh

8 komentar untuk "Kenangan 'Manis' Tak Terlupakan di Atas Kereta"

  1. Aku juga pernah tuh. Tiket buat ke Kepanjen habis. Cuma sampai ngebruk. Pas dicek katanya nggak papa. :v hehehehe .... Tapi ya gitu, nggak dapat jatah depan duduk. Jadi jongkok di depan toilet sambil ngobrol.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah ya Mba, nggak diturunin di Jalan :P

      Hapus
  2. Aku naik kereta cuman 5 kali kalau dihitung. Terakhir kali bersama Mbak Injul dari Bandung ke Jakarta waktu Festival TIK di Bandung, dan sepatu saya ilang hihi

    Sukses selalu mbak
    Salam dari Rembang

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, sampai kehilangan sepatu. jadi kisah sedih ya :(

      Hapus