Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Belajar Membatik di Kampung Batik Semarang, Melestarikan Budaya Daerah



Siang hari menjelang pukul 11, kami nekat menerobos panasnya udara Semarang membawa si Kecil untuk berburu informasi seputar batik Semarang.
Sebenarnya telah lama memendam keinginan untuk menelusuri jejak-jejak perkembangan batik di kota yang telah kutinggali selama hampir 10 tahun. Kota dimana hampir 4 tahun terakhir saya menjadi warga resminya.
Berbekal informasi di internet mengenai Kampung Batik Semarang, saya pun gambling ke sana karena tidak mendapatkan contact person pak Eko Haryanto, yang di sebut-sebut sebagai ketua kelompok pengusaha batik di kampung tersebut.

“Kampungnya di mana?”
“Di belakang Gedung BRI Bubakan, Kalau nggak salah ada gang-nya dengan tulisan Jl. Batik”
Kami menyusuri jalan Arteri hingga melewati Jalan Pattimura tapi tidak menemukan Jl. Batik. Kami pun berbalik menyusuri Jalan Pattimura hingga lampu merah lalu sampai lagi di Jl. Arteri. Tetap tidak menemukan, suami saya mengusulkan untuk memutari Kota Lama terlebih dahulu. Motor dijalankan perlahan sekali untuk menelusuri setiap gang yang ada. Dan di sekitaran bundaran Bubakan, setelah Pom Bensin kami nememukan jalan itu. Ya, Jl.Batik. Demi menemukan jalan tersebut, terasa seperti menemukan air segar di tengah panasnya udara.
Kami pun memasuki kampung dan bertanya kepada tukang parkir untuk menuju Balai Batik Semarang. Setelah melewati gang-gang kecil akhirnya kami temukan juga balai Bahasa Semarang dengan kondisi persis seperti yang kulihat di foto-foto yang tersebar di internet.
Sayang, balai tersebut dalam kondisi terkunci. Seorang penjual kolak dan pecel di terasnya menjawab ramah saat saya bertanya.
“Oh, kalau ke rumah Pak Eko jam segini beliau biasanya tidak ada, Mba...”
Pessss! Rasanya seperti semangat yang tadi telah membubung tinggi tiba-tiba kempes karena jarum kecil yang tak terprediksi.
***
2 Oktober, Hari Batik Nasional
Masyarakat Indonesia patut berbangga setelah tanggal 2 Oktober dinobatkan sebagai Hari Batik Nasional. Penetapan hari tersebut bukan tanpa perjuangan karena sebelumnya negara tetangga mengklaim bahwa batik adalah milik mereka. Tanggal 2 Oktober dipilih karena bertepatan dengan ditetapkannya batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009.
Semenjak itu, berbagai lapisan masyarakat mulai menjadikan batik sebagai busana wajib baik untuk seragam maupun pakaian/dress code di hari-hari tertentu. Saya masih merasakannya semenjak penobatan hari batik tersebut, pada hari jumat dibuat aturan di kampus yang mewajibkan dosen dan karyawan mengenakan pakaian batik dan menyarankan mahasiswa untuk mengikutinya.
Jujur awalnya saya malu memakai batik. It’s so old! Bagi saya dulu, batik itu pakaiannya orang-orang tua dan identik dengan guru. Tapi setelah diberlakukannya hari batik di kampus, saya pun mulai terbiasa memakai batik dengan corak apapun. Semenjak itu, memiliki pakaian dengan motif batik menjadi kewajiban, karena mulai merasa memiliki dan ada keharusan untuk melestarikan budaya Indonesia.

Sudah punya koleksi batik di rumah?
jika belum, koleksi di workshop Batik Figa ini bisa menjadi pilihan

dok. Pribadi 
Setiap daerah memiliki budaya dengan khas-nya masing-masing tak terkecuali dengan kain yang melekat dengan budaya mereka tersebut. Sebut saja ada kain tenun dari berbagai daerah, songket, batik, dll. Selama ini Batik identik dengan budaya Solo dan Jogja, karena akarnya adalah dari sana. Batik sebelumnya menjadi pakaian khas kerajaan. Sekarang ini, daerah lain pun memiliki batik khas, yang bisa jadi sebenarnya telah ada sejak zaman dulu sebagaimana batik Jogja dan Solo namun belum terekspose oleh masyarakat luas.

Sejarah Batik Semarang
Menurut beberapa sumber, batik Semarang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Hal tersebut didasarkan pada banyaknya pedagang batik di pasar Johar dan beberapa sentra batik di sekitarnya. Namun saat pendudukan Jepang, kantong-kantong ekonomi di Semarang dimusnahkan termasuk keberadaan sentra batik tersebut. Semenjak itu batik Semarang tinggal kenangan. Para pedagang batik mengambil barang jualan dari daerah lain seperti Pekalongan dan Solo.
‘Batikkerij Tan Kong Tin’ adalah salah satu cikal bakal Batik Semarang yang didirikan pada awal abad ke-20 dan beroperasi hingga sekitar tahun 1970. Tan Kong Tin merupakan anak seorang mayor di Semarang, Tan Siaw Liem. Dia menikah dengan keturunan Hamengku Buwana III, Raden Ayu Dinartiningsih. Beliau yang keturunan keraton Jogja dan pandai membatik ini kemudian bersama suaminya mengembangkan batik dengan motif padu padan dengan corak khas tionghoa.
Selain batik Tan Kong Tien, ada batik Sri Retno yang merupakan perusahaan besar pada masanya. Pada waktu tahun 1919 & 1925, jumlah pengusaha batik di Semarang ada 107 orang dan jumlah pengrajin 800 orang.


Batik 'Warak Ngendog'
dok. Pribadi

Namun semenjak dibakarnya kawasan batik Semarang, geliat batik mati suri. Bahkan jika menanyakan kepada warga sekitar kampung batik pun, mereka tidak mengetahui sejarah batik yang mereka kembangkan sejak masa silam. Pun dengan Bu Afifah yang saya temui waktu itu. Saat ditanya mengenai sejarah batik Semarang beliau menjawab bahwa beliau tak tahu menahu seputar kampungnya karena orangtuanya dan garis keturunannya ke atas tidak ada ‘darah’ batik mengalir di dirinya.
Bagaimana saya bisa bertemu dengan Bu Ifah, panggilan akrabnya dan apa saja yang keunikan-keunikan yang bisa didapat di rumahnya? Simak terus cerita saya ya.

1 dari 3 Pengrajin Batik di Kampung Batik Semarang


Ibu Siti Afifah bersama batik jumputan kreasinya
dok. pribadi

Bu Yuni, penjual pecel dan kolak di teras Balai Batik Semarang merekomendasikan untuk menemui Bu Ifah di rumahnya yang berseberangan dengan masjid Madrojussalikin Kampung Batik.
“Ke rumah bu Ifah saja, biasanya beliau di rumah dan sering ada yang sedang latihan membatik, barangkali bisa ikut sekalian Mba,” saran bu Yuni.
Maka saya pun mengikuti anjuran beliau.
Tepat di seberang masjid, kami menemukan rumah sederhana dengan berbagai perlengkapan membatik di teras rumah. Di halamannya terdapan kanopi dari bambu menutupi halaman yang dijadikan tempat parkir sepeda motor. Di atasnya tertempel MMT panjang yang mulai lapuk dengan tulisan ‘Batik Figa...’
Memasuki halaman rumah, terlihat beberapa remaja berjilbab tengah melingkar dengan seorang ibu separuh baya yang mengawasi. Saya pun berbasa-basi dan menjelaskan maksud kedatangan.
Beliau menyambut dengan ramah dan menjelaskan apa saja yang saya tanyakan sembari mengajari anak-anak itu belajar membuat batik celup/jumputan. Rupanya adik-adik dari SMA 10 Semarang itu mendapat tugas membuat batik jumputan dari gurunya dalam pelajaran kewirausahaan. Nantinya hasil dari kerajinan mereka akan dijual.

Bagaimana Bu Ifa memulai mendirikan Figa Batik?
Tahun 2006, Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) bermaksud memulihkan kembali kejayaan batik Semarang di masa lalu. Maka diadakanlah pelatihan membatik dengan peserta dari masyarakat Kampung Batik.
Bu Ifah yang waktu itu seorang ibu rumah tangga ikut mendaftar untuk mengikuti pelatihan. Dan di sanalah kali pertama beliau mengenal batik dan teknik-teknik membatik.  60 orang yang mengikuti pelatihan tidak semuanya lantas bisa membatik. Hanya sebagian yang sudah terampil dan kemudian mencoba membuka usaha batik dengan dukungan dari pemerintah.
“Namun sampai sekarang yang bertahan hanya 3 orang. Saya sendiri, Pak Eko Haryanto dan Ibu Eli”, kata Bu Ifah menjelaskan siapa saja ‘prajurit’ yang tersisa dari pelatihan 10 tahun yang lalu.
Kini di kampung batik bertebaran toko yang menyediakan batik Khas Semarang dan sekitarnya, namun tidak semuanya memproduksi sendiri. Di luar 3 klaster batik di Kampung Batik, ada pengrajin lain yang memperoduksi batik sebagai sambilan.

Kesulitan apa yang dihadapi selama menjadi pengusaha batik?
“kesulitan utama adalah pemasaran” jawab bu Ifah gamblang.
Jika tidak ada pameran, maka bu Ifah pun tidak banyak memproduksi batik karena angka penjualannya rendah. Untuk itu beliau memproduksi hanya untuk ketersediaan stok, di sela-sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga.

Batik yang dipajang di workshop Figa Batik
dok. Pribadi
Dalam satu bulan beliau memprosuksi 1-2 batik tulis. Sedikit ya.. tapi begitulah karena batik tulis membutuhkan ketelitian yang lebih dibandingkan jenis batik lainnya. selain itu juga sangat tergantung dengan faktor cuaca. Jika setelah membubuhkan malam ke dalam pola kain yang akan digunakan lalu udara lembab, malam tersebut bisa mleber dan berakibat hasilnya tidak rapi. Akibatnya tentu menurunkan kualitas batik yang dihasilkan.
Saat ada panggilan dari pemerintah kota/dekranasda untuk mengikuti pameran, beliau memproduksi batik lebih banyak dari biasanya dengan bantuan keluarga dan tetangga sekitar.
Oia, batik beliau telah diikutkan dalam pameran di Singapura dan Malaysia juga lho..
“Tapi orangnya belum pernah, baru ke beberapa kota saja. Paling jauh sampai Batam,” lanjut Bu Ifah sambil mengulum senyum.
Beliau mendapatkan penghasilan tambahan dari pelatihan batik kilat baik untuk perorangan maupun sekolah.
Seperti 5 anak SMA 10 yang saya temui waktu itu, mereka datang ke sana atas kemauan sendiri dan pernah ikut pelatihan sebelumnya saat masih menjadi siswa SMP.
Safa, Firga, Safia, Pipit, dan Ika sibuk dengan kain masing-masing sementara Bu Ifah mengontrol dan menyiapkan pewarna sesuai keinginan mereka.
“Untuk pewarnaan, jenin pewarna yang digunakan pun berbeda. Remasol digunakan untuk batik celup dan colet sedangkan Naptol khusus untuk batik celup,” jelas bu Ifa.
Beliau menakar dengan timbangan kecil ‘ramuan’ untuk pewarna kain batik jumputannya.
Saya pun berkeinginan untuk mengikuti kelas batik tulis, namun rupanya hari itu beliau tidak sanggup karena ada jadwal pengajian. Saya putuskan untuk ikut mencoba membuat batik jumputan saja dan diiyakan oleh beliau.
Karena beliau masih sibuk, saya pun diajari oleh anak-anak SMA itu, yang sebagian prosesnya sudah saya lihat tapi saya ketinggalan proses awalnya.


Berbagai perlengkapan membatik yang tersedia di Figa batik

Proses pewarnaan batik jumputan

Hasil dari belajar membatik di workshop Figa batik
Ternyata cukup mudah, hanya butuh ketelitian dan ketelatenan untuk melipat atau mengikat kain putih agar nantinya menjadi pola sesuai yang diinginkan.
Setelah selesai melipat-lipat kain dan mengikatnya erat dengan karet gelang, kami pun bersiap untuk proses pewarnaan. Sebagain pewarna dimasukkan ke dalam botol kecap dan sebagian lagi dicampurkan dengan air di dalam ember.
Bu Ifa memandu kami untuk mencelupkan kain sesuai warna yang kami inginkan. Untuk beberapa pola yang harus diteteskan (tidak bisa dicelup), bu Ifa menyediakan jaring-jaring besi dan wadah dari lempengan aluminum untuk menampung tetesan pewarna agar tidak mengotori tanah.
Here we go! Dengan telaten beliau memandu kami satu per satu untuk mewarnai sesuai dengan pola jumputannya. Setelah itu, kain yang telah diberi pewarna harus dipanaskan di bawah sinar matahari sampai benar-benar kering. Proses selanjutnya setelah kering adalah fiksasi agar pewarna yang menempel di kain tidak mudah luntur.
Namun, berhubung beliau ada agenda dan ternyata datang serombongan anak SMA 10 lainnya yang ingin belajar membatik, kami pun mohon diri dan membawa hasil kreasi kami masing-masing.
Semoga lain kali saya bisa mencoba membuat batik tulis. Sementara cukup dengan melihat-lihat hasil batik tulis bu Ifah dengan pola khas Semarang seperti Asem sedompyok (daun asam dan beberapa biji asam jawa dalam satu ranting), Blekok Pohon Asam, Lawang Sewu, Tugu Muda, Pohon Asam, dll.
Berapa biaya yang dibutuhkan untuk belajar membatik? Murah sekali! Hanya Rp. 20.000,- bisa belajar batik tulis (membuat sapu tangan), batik jumputan dan batik cap dengan kain yang lebih lebar.

Ciri Khas Batik Semarang
Batik Semarang hampir sama dengan batik Pekalongan yang bermotif flora dan fauna serta warna-warna yang cerah. Bedanya, jika batik pekalongan dipengaruhi oleh budaya Belanda maka batik Semarangan lebih diwarnai oleh budaya China.
Para pengrajin pun menciptakan sendiri batik khas dengan ikon kota Semarang seperti Tugu Muda, Lawang Sewu, Pohon dan buah asam, Blekok (Sejenis bangau yang hidup di pohon asam di Salah satu kawasan Semarang), dll yang identik dengan kota Semarang.

Aneka Batik dengan dua kali pewarnaan
motif Asam Sedompol, Blekok Sukun, Lawang Sewu

Aneka Batik Semarangan satu dan dua warna
Motif Blekok Sukun, Tugu Muda, Kawung Asam, Pohon dan bunga asam

Aneka Batik Khas Semarang kombinasi Cap dan Colet
Batik tulis dalam proses pengerjaan,
motif Asam sedompol dan Lawang Sewu

Untuk batik cap dengan satu warna (Warna dasar berwarna dengan corak putih) dibandrol dengan harga mulai Rp. 85.000, Batik cap dengan dua warna 125.000, sedangkan untuk batik Colet (Kombinasi batik dengan warna dengan cara disapukan manual satu per satu) harga berkisar Rp.160.000. Untuk batik cap dengan motif yang lebih rumit dengan beragam warna dibandrol mulai Rp.350.000. Sedangkan batik tulis pun disesuaikan dengan tingkat kerumitan coraknya, mulai Rp.300.000 – Rp. 1.000.000 dengan ukuran standar 1,2m x 2m.

Peran apa yang bisa kita ambil?     
Keberlangsungan para pengrajin batik tak luput dari dorongan dan sokongan pemerintah serta masyarakat sekitar. Seperti halnya yang disampaikan oleh Ibu Ifah bahwa permasalahan utama ada pada pemasaran, maka kita sebagai generasi muda diharapkan bisa memberikan solusi bagi masalah yang mereka hadapi.
Bagaimana kita bisa berperan dalam pelestarian batik daerah ini?
Menyebarkan informasi
Coba tanyakan kepada warga Semarang tentang kampung batik, maka tak semua orang mengetahuinya. Untuk itu, penyebaran informasi agar viral di dunia maya dibutuhkan sehingga jika terbersit kata batik semarang maka yang tertuju adalah kampung Batik sebagai sentra batik dan wisata edukatif seputar batik.    
Jika telah banyak orang yang mengetahui mengenai kampung Batik Semarang, bukan mustahil jika kemudian semakin ramai dikunjungi masyarakat baik yang ingin belajar membatik atau membeli batik khas Semarang.
Belajar Membatik
Untuk apa belajar membatik? Selain siswa sekolah yang mendapat tugas, warga umum pun tak ada salahnya untuk belajar membatik agar memahami bagaimana selembar kain bisa menjadi cantik untuk dikenakan. Butuh proses panjang mulai dari memilih kain sampai kain siap dipasarkan. Sehingga, pantaslah jika harga batik dibandrol cukup mahal terlebih untuk batik tulis.
Belajar membatik di sentra batik artinya kita juga membantu pemasukan mereka meski kecil. Jadi, jika ingin belajar ke sana, datanglah dengan rombongan minimal 5 orang agar mentornya mendapatkan ‘upah’ sesuai dengan jerih payahnya mengajar.
Jika dipikir-pikir, uang Rp. 20.000 toh masih digunakan untuk membeli perlengkapan yang digunakan oleh peserta pelatihan. Berapa yang mereka dapatkan? Mereka sudah mendapatkan kepuasan tersendiri dengan makin banyaknya orang yang antusias melestarikan batik khususnya batik Semarang.


Anak-anak TK belajar membatik. kamu kapan?
dok. Figa Batik

Anak-anak SMA belajar batik tulis
dok. Figa Batik

Menggunakan batik daerah
Menggunakan batik Semarang bagi warga Semarang, adalah poin pentingnya. Memang tak bisa dipungkiri dan tak bisa disalahkan bahwa batik printing (meskipun seharusnya dikatakan motif batik, bukan kain batik) lebih menguasai pasaran dengan harga yang lebih terjangkau dan warna yang memikat.

Berpose bersama Bu Ifah dan siswi SMA 10 Semarang
dok. pribadi
Setidaknya kita bisa membeli selembar – dua lembar kain batik yang dibuat langsung oleh pengrajin di Kampung Batik Semarang. Selebihnya, kita mengajak orang-orang di luar sana untuk membeli batik Semarang dari para pengrajin.
Semoga pamor Batik Semarangan tak kalah dengan aneka panganan yang menjadi ikon kota Semarang. Semoga Balai Batik Semarang tak lekang dimakan zaman dan sejarah kampung batik yang mati suri tak lagi terulang.
Selamat berjuang, para pencetak sejarah di lembar-lembar kain putih. Semoga anak cucumu mampu meneruskan perjuanganmu kelak.
Siang yang terik itu kami meinggalkan kampung batik dengan harapan akan kembali lagi ke sana suatu saat. Untuk belajar dan untuk belanja kain batik.

Simak juga keseruan belajar membatik saya di sini:




Semoga bermanfaat,
Salam,






Sumber:
1.Wawancara dengan Ibu Afifah, pada tanggal 19 Oktober 2016
2.Kampung Batik, Pusat Batik Semarangan. www.batiksemarang.com. Online: diakses pada tanggal 20 Oktober 2016

BATIK FIGA (Ibu Siti Afifah)
Alamat: Kp. Batik Malang 673 Kec. Semarang Timur
HP. 085641088175


Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Visit Jawa Tengah 2016 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah @VisitJawaTengah 

81 komentar untuk "Belajar Membatik di Kampung Batik Semarang, Melestarikan Budaya Daerah "

  1. Batiknya bagus2. Ada motif lawang sewu juga ya? penasaran banget. kalau di sini batik motif Gedong Songo Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba..
      Ada Tugu Muda juga 😊😊

      Memang batik khas sekarang banhak dimodif pakai motif ikon daerah setempat ya Mba

      Hapus
  2. Bagi saya makin lama batik ini semakin menarik, Mbak Arina. Dan membaca pengalaman Mbak mengenai batik Semarang ini, menambah wawasan saya tentang industri batik. Memang begitu hampir semua industri kecil kendalanya selain modal dalam pemasaran. Mengingat Betapa cantiknya batik Semarang semoga pemasaran batik Swmarang dilancarkan jalannya. Amin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mba, semoga dengan makin banyak orang yang mengenal, bisa membantu meningkatkan pemasaran. Aamiin..

      Hapus
  3. Banyak juga ya motif batik Semarang. Btw, pengen deh belajar membatik. Walopun sebenernya gak bisa gambar. Seru kayaknya. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yuk Mba, belajar Mbatik 😊 polanya sudah digambarin ko Mba, kita tinggal ngikutin pola aja

      Hapus
  4. wahh... motif batiknya banyak dan cantik-cantik banget. aku belum pernah main ke semarang. selama ini cuma numpang lewat saja jika suami sedang ingin pergi ke solo

    BalasHapus
  5. Jadi pengen coba belajar membatik :)

    BalasHapus
  6. Aahh aku suka batik maak, biasanya buat celana.

    Keereen tuh batiknya , yg lagi tren saat ini, lupa namanya apa yaa, yang motif ijo, biru..

    Susaah euy membatik pas pake canting, kudu teliti, sabar hihii

    BalasHapus
    Balasan
    1. Batik jumputan ya Mak?

      Yuk ah. Pesan batik Semarangan buat nambah koleksi.
      Kalau ke Semarang kudu banget mampir kesini Mak..

      Hapus
  7. Batiknya cakep2 mb..aku jg suka pk batik

    BalasHapus
  8. Baru tau ternyata Semarang juga punya batik.. warna-warninya khas Batik pesisir ya. Yang motif lawang sewu itu nunjukkin Semarang banget, :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huum Mba, memang belum lama sih berkembang lagi.
      Yup! Ikon kota Semarang banget ya 😊😊

      Hapus
  9. Aku punya batik Semarangan, seragam lebaran kemarin dari ibu mertua, anak2, menantu, cucu sampai cicit, hahahahaa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah.. Seragaman 😍😍
      Aku baru punya gara2 kmrn ke Bu Ifah itu Mba.. Ternyata cakep2 juga

      Hapus
  10. Jadi memasarkan lebih sulit daripada membuat batik itu sndiri ya, inget kata2 Hanung kalo memasarkan film lebih susah daripada membuat film.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener Mba, mungkin masyarakat juga lebih milih beli batik printing karena lebih ekonomis kali ya

      Hapus
  11. Mba arin, aku baru tau kalau ada kampung batik di Semarang lho mba..kapan2 pengen kesana deh, semoga kesampean. Makasih infonya mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huum Cha, ke sana bisa milih mau berkunjung ke mana aja. Ada banyak workshopnya 😊😊

      Hapus
  12. Saya sudah lama kepikiran juga, masa Solo, Pekalongan, sama Jogja punya batik khas, tapi Semarang (yang juga kota besar) enggak punya? Nah, ternyata emang punya, ya, Mbak.
    Motifnya bagus-bagus. Meski kalo dibaca dari sejarah yg Mbak Arina tulis enggak kental dengan sejarah kerajaan.
    Nice post, Mbak. Sukses yaa lombanya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba, kalau Jogja Solo Pekalongan kan karena sejarah kerajaan ya 😊😊
      Mba Diah semoga kesampain untuj ke semarang, main ke Cimory sama ke kampung batik juga 😊😊

      Hapus
  13. Nyenengin banget mbak bisa ikut mbatik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lain kali pengen ke sana lagi Mba.. Nyobain mbatik yang lain 😁😁

      Hapus
  14. Pingin deh punya batik tulis asli selembar aja, cantik-cantik banget itu yah motifnya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba, buat disimpan kali ya.. Habis harganya juga maknyuss

      Hapus
  15. Rinaa perlu diusulkan ada fesfival batik semarang mungkin ya, kayak di solo sepertinya sdh diagendakan. Harganya brapaan say itu? Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya May, sebenarnya sering ada lho, tapi mungkin infonya yang kurang ramai jadi banyak yang nggak tahu.

      Harganya mulai 85rb

      Hapus
  16. Wah belajar membatik seru juga rin, langsung beli dari pengrajin biasanya lebih murah dibandingkan kita beli di toko ya rin ☺

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi. Sssttt..! Jangan bilang-bilang ya Mba.. Aku beli di Bu Ifah dapat potongan 🙊🙊

      Hapus
  17. Lengkaaaaappppp.. Aku org pekaloNgan mlah lum pernah mbk.. Hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ke Pekalongan ngajakin Mba Noorma ke kampung batik ah 😀😀

      Hapus
  18. dari sekian banyak baju yang aku punya.... cuma punya 2 baju batik (diluar batik sekolah TK/SD/SMP/SMA):''''
    itu pun beli karena dulu ada ospek kuliah :''

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaaa... 😢😢

      Ayuk sekarang beli batik, itung-itung bantu pengrajin batik juga kan? 😊

      Hapus
  19. Ternyata harga batik Semarang masih jauh dari harga batik kota sebelah ya mbak..

    BalasHapus
  20. Ternyata batik memang sudah ada sejak masa Belanda ya mbak, di Riau juga gitu kalau nggak salah. Cantik-cantik batik dari Figa Batiknya mbak, mupeng lihatnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba Muthi..
      Setiap daerah sepertinya punya kain khas-nya masing-masing ya

      Kalau ke Semarang jangan lupa beli batiknya Mba..

      Hapus
  21. Informatif sekali mbak tulisannya. Anak saya lagi tugas membatik nih. Recommeded untuk dikunjungi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Mba Yuli,
      Semoga ananda bisa bslajar di sana 😊

      Hapus
  22. Hahahaha, aku kok mesam-mesem ya pas Mbak Arina menulis kalau batik identik sama guru. Pancen iyo Mbak. Lha selama seminggu aku ini pakai batik setiap hari Selas, Kamis- Sabtu. Kalau perlu wajahku tak batik sekalian Mbak.
    Tapi senengnua, batik sekarang itu banyak variasinya. Warnanya pun bagus-bagus. Jadi, yang masih muda kayak aku nih (hahahaha) PD banget pake batik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwkwk. Sekarang kan nggak lagi Mba..
      Malah jadi pakaian yang ga pernah ketinggalan jaman 😀😀

      Harus pede dong pakai batik 😍😍

      Hapus
  23. Wow! Batik Semarang tak kalah cantik dibanding batik dari kota lain. Semoga terus berkembang

    BalasHapus
  24. Aku juga suka banget batik,, tapi sayangnya model yang beredar di pasaran kurang pas sama yang aku pengen,, jadinya beli batiknya trus bikin sendiri deh jadi baju,, hampir 60% bajuku batik semua,, tapi bukan yang printing lho ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Keren Mba Lintang.
      Aku jg pengen bisa jahit deh

      Hapus
  25. Wah motif batiknya cantik-cantik.
    Anak-anakku dulu juga outing class pernah ke tempat pembuatan batik, belajar membatik langsung.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seru ya Mba.. 😀😀
      Jadi pengalaman berharga buat anak-anak

      Hapus
  26. Ooo ..rupanya batik pekalongan lebih ke belanda pengaruh coraknya sementara semarang, budaya china lebih dominan.


    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul.. Saya pun belum lama tahu soal ini 😊😊

      Hapus
  27. Mba Arina, aku belum pernah beli batik semarang. Jadi pengen nyoba. Proses membuat batik memang membutuhkan waktu dan tak mudah ya mba ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba, butuh waktu lama untuk membuat kain batik.

      Mba Lid kalau ke Semarang jangan lupa belanja batik semarangan juga 😊😊

      Hapus
  28. Dan semenjak batik ini mulai digerakkan untuk dipakai di beberapa instansi setiap hari Jumat, saya merasa senang, karena akhirnya batik gak sekadar dipakai kala kondangan saja. Saya juga nyamannya pakai batik kalau ngajar :D hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha. Iya Mba, sudah resmi banget lah kalau itu batik 😊😊

      Hapus
  29. aku gak isa bedain ini batik dari mana darimana ..hi2, tapi aku suka batik...
    seru kayanya kalau belajar mematik ya... perlu orang yang telaten..serius..gak pecicilan..:D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha (((ga pecicilan)))
      Sekarang sih banyak batik yang sudah dimodif memang Mba.. Yang penting cinta batik ya 😍😍

      Hapus
  30. Aku tiada hr tanpa batik kalau kerja😁,selalu nyaman dg motif batik.aku prtamakali kunjungan ke tmpt mbatik waktu sma mba tp ke danar had I😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, asyiknya ke danar hadi. Saya malah belum pernah Mba.. 😁😁

      Hapus
  31. Sekarang sepertinya sudah semakin ramai ya batik Semarang. Aku ke sini 4 tahun lalu. Rasanya masih jarang rumah batik yang berhasil aku temui.
    Semoga batik Semarang terus berkembang dan makin dikenal dimana-mana ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin..

      Artinya harus ke Semarang lagi Mba.. 😊😊

      Hapus
  32. Kalo ke Semarang lg, pengen mampir, ah.

    BalasHapus
  33. aku suka banget pake daster batik...

    BalasHapus
  34. dulu aku juga menganggap pake batik tuh jd tua.. skrg malah suka banget dgn corak dan modelnya.. Keren ya batik Semarang ini, salut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Toss Mba..! Dulu aku jg nganggal batik itu cuma pakaiannya orang-orang yang sudah sepuh

      Sekarang jd ga kenal jaman. Seneng deh

      Hapus
  35. Walah, dulu saya sering dinas ke semarang, tapi gak pernah tau soal info ini. haha..coba kalo tau ada kampung membatik ini, pasti saya mampir..hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga lain kali dapat tugas ke Semarang lagi Mba, jd bisa jalan2 ke sana 😊

      Hapus
  36. Huaaaaa.... baru tahu ada kampung batik di semarang. Semoga di Jepara segera ada. Jepara punya batik lho

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin..

      Kapan2 kalau ke Jepara juga kudu lihat-lihat batik Jepara nih 😊

      Hapus
  37. Motifnya cantik dan lebih warna-warni ya. Btw kenapa gitu kampung batik dulu dibakar?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena jadi pusat perekonomian masyarakat Mba.. Jadi sama mereka dibakar biar ekonomi melemah trus mati

      Hapus
  38. aku kalo ngeliat kayak udah nyerah duluan hahaha, njelimet banget rasanya membatik itu :(
    tapi bagus dan kepengen bisa juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha
      Udah disiapin polanya ko Mba.. Kita tinggal ngikutin, tapi susah juga kalau belum pernah nyoba.
      Yuk, kesana

      Hapus
  39. Wah ulasannya komplit bgt ttg batik Semaraang nih

    BalasHapus
  40. Batik Warak Ngendog-nya rumit dan filosofis coraknya ^^


    Benar dengan kekayaan batik yang dimiliki tiap daerah, harusnya melestarikannya dengan salah satunya memakainya..


    Infonya mantabbb, tambah ilmu tentang per-batik-an ^^

    BalasHapus
  41. pingin punya batik lawang sewu itu, kayanya lucu buat ngantor. harganya ternyata terjangkau juga ya. kapan-kapan samperin workshopnya ah :)

    BalasHapus
  42. Blog yang cukup informatif, tertarik dengan blog ini karena ada pemesan yang ingin membuat tropi batik cup yang salah satu aksesoris nya adalah canting, semoga batik Semarang makin maju dan eksis serta lebih banyak peminatnya

    BalasHapus
  43. saya suka banget membatik, menyenangkan biarpun memang njlimet cara buatnya, dulu wkatu kuliah di Jogja terus penelitian soal bayik seru banget belajar banyak hal

    BalasHapus