Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Filosofi Nasi Goreng dan Tirakatan Dirgahayu RI Ke-71

Nasi goreng, ilustrasi. credit pixabay

Filosofi nasi goreng? Apa pula ini?!
Eits! Santai, temans.. boleh dong saya cerita dulu tentang agenda sejak awal hingga pertengahan Agustus ini?
Sudah menjadi tradisi di Indonesia, setiap bulan Agustus masyarakat akan berbondong-bondong bergotong royong menyambut HUT Indonesia. Tak jauh berbeda dengan komplek kami, dari tahun ke tahun warganya makin antusias mengadakan acara bersama.
Setelah halal-bihalal yang diadakan di Bukit Cinta Rawa Pening beberapa waktu yang lalu, ada beberapa acara untuk merayakan hari kemerdekaan. Oia, rapat tujuhbelasan pun diadakan waktu halal-bihalal lho, meskipun saya nggak ikut.


Jalan Sehat Minggu Pagi
Mengawali moment tujuhbelasan diadakan jalan sehat (eh, jalan santai ding) tanggal 4 Agustus. Rajin banget kan, awal-awal sudah mengadakan? Hihi. Sebenarnya sih karena ketemunya tanggal itu, supaya ada lebih banyak waktu juga untuk menyiapkan malam tirakatan.
Ber-drescode merah dengan tulisan ‘erte 03’ kami siap melewati rute yang telah disediakan. Tentu dong sepanjang jalan sambil bercanda dan ngobrol dengan tetangga kanan-kiri yang jarang ketemu. Makanya acara seperti ini jadi cara yang asyik banget buat sosialisasi sama tetangga.
Setelah jalan santai, kami pun lesehan di depan rumah warga (kebetulan di depan rumah ibuku karena tepat di depan pos kamling). Perut kosong karena jalan santai belum sempat sarapan, melihat makanan yang terhidang di meja langsung kruyuk-kruyuk. Maka tanpa dikomando dua kali, peserta berhamburan mengambil makanan. Ada bubur kacang ijo, lunpia, arem-arem, roti, tahu bakso, hm.. sayang nggak ada teh panas (aduh ngelunjak!).
Dresscode merah erte 03
Yang tak kalah seru juga pembagian doorprize hasil iuran warga. Yang lucu, satu hadiah yang kami sediakan kembali lagi kami terima. Iya, karena panitia mensyaratkan kadonya dibungkus koran dan tidak boleh ditukar. Hihi. Nggak apa-apa sih, karena barangnya juga yang kami suka J
Alhamdulillah, berkat acara ini jadi diingatkan lagi  buat olahraga rutin. Sudah jarang banget OR nih.. :P
Filosofi Nasi Goreng dan Keseruan Lomba Masak Bapak-bapak
Nah, kalau ini acara puncak yang ditunggu-tunggu. Malam tirakatan sekaligus lomba masak nasi goreng oleh Bapak-bapak. Awalnya mau ada lomba untuk ibu-ibu juga yaitu merias wajah tapi dengan konsep perias mengenakan penutup mata dan ada satu anggota lain yang memberi aba-aba. Kedengarannya seru sekali kan permainan ini? Teringat saat SMA pernah ikut lomba beginian dan hasilnya malah bikin tertawa ngakak sampai sakit perut. Well, akhirnya lomba rias ini dibatalkan karena ibu-ibu kebanyakan sudah sepuh dan nggak mau rempong.
Ba’da maghrib, bapak-bapak mulai menyiapkan perkap yang akan dipakai untuk lomba. Panitia sudah menyediakan meja untuk lima kelompok sedangkan kompor, penggorengan, dll disiapkan oleh peserta. Kebayang juga hebohnya lomba ini.. hihi.
Dengan dresscode yang sama dengan jalan sehat, seluruh peserta sudah bersiap di depan stage masing-masing. Ibu RT membuka acara lalu mempersilakan bapak-bapak untuk mengambil bahan nasi goreng yang telah disiapkan. Teman-teman suka nonton acara Master Chef dan sejenisnya? Kurang lebih begitulah keseruan bapak-bapak berebut bumbu dan bahan nasi goreng.

Peserta lomba masak bersiap

Gooo..!! dan menit berikutnya semua sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang mengupas bawang, menyiapkan garnish, ngulek. Ibu-ibunya ngapain? Nonton dong... sambil nggak henti fotoin aksi bapak-bapak. Apalagi ada ada kejadian lucu juga, ada satu kelompok yang mejanya hampir ambruk saat mengulek bumbu. Untung kompornya nggak jatuh ya?!
Panitia menyediakan waktu 45 menit untuk peserta, tapi belum 30 menit berjalan beberapa kelompok sudah siap menghidangkan nasi goreng. Tampilannya juga cukup cantik, lho.. nggak kalah sama buatan ibu-ibu. Soal rasa? Let’s see.. hihi.
Setelah waktu habis dan semua kelompok sudah menyetorkan hasil masakannya, saatnya tim juri yang terdiri dari ibu-ibu pengurus PKK bersiap untuk menilai. Bisa ditebak, sebelum diicip difoto-foto dulu sama mereka.
Sambil menunggu hasil penilaian, bapak-bapak gotong-royong lagi masak nasi goreng dalam jumlah banyak untuk dimakan seluruh warga. Hm.. beruntung ada dua orang bapak yang jago masak dan memimpin acara ini.
Walaa! Selamat menikmati nasi goreng hasil jerih payah bapak-bapak.

Cukup enak lah nasgornya :)

Acara tirakatan pun dimulai. Lho, jadi sejak tadi belum dimulai? Hihi. Tadi kan acara lomba masaknya dulu, Neng!
MC membuka acara, lalu dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama. Hidmat sekali waktu menyanyi bersama meskipun sebelumnya habis gojek-an.
Setelah itu, acara diisi dengan refleksi kemerdekaan oleh salah seorang tokoh masyarakat di RT kami yang juga dosen Undip. Membahas nasi goreng, begitulah kira-kira. Beliau mencoba menguraikan benang kusut seputar filosofi nasi goreng dan kenapa nasi goreng yang dipilih sebagai tema lomba masak, bukan makanan indonesia yang lain yang jumlahnya tak sedikit. Meski disampaikan dengan sederhana, nyatanya bisa mendalam dan penuh arti.
 
foto dulu... :D
Nasi Goreng = Nasi Basi?
Si Bapak bercerita saat masa kuliah dulu, beliau menjadi salah satu anggota tim bola voli Undip yang dikirim untuk kompetisi tingkat nasional di Bandung. Saat sarapan pagi disuguhi nasi goreng, hampir semua teman-temannya berkomentar ‘sarapan dengan nasi basi’.
Begitulah mindset masyarakat saat itu, bahwa nasi goreng identik dengan memanfaatkan nasi sisa agar bisa dimakan untuk sarapan. Praktis, bisa dilengkapi dengan tambahan telur dan sayur agar asupan gizinya tercukupi.
Saya pun merasakan hal yang sama, saat masih sekolah dulu jika Mamak masak nasi goreng untuk sarapan artinya ada cukup banyak nasi yang tersisa dan biasanya kami malas menyantapnya jika tidak berwujud nasi goreng atau cireng nasi.
Bagaiamana ceritanya hingga si nasi goreng ini sekarang naik peringkat menjadi makanan berkelas dan diminati hampir oleh semua orang? Cobalah cek di warung tenda atau di restoran, di mana yang tidak menyediakan menu nasi goreng? Jarang sekali, bukan?
Begitu juga hidup kita, ada kalanya sesuatu dianggap remeh tapi ternyata dia punya nilai lebih untuk dikembangkan dan potensial untuk melejit. Pertanyaannya, sudahkah kita memahami?

Tidak Ada Nasi Goreng yang Rasanya Sama
“Kami mengadakan lomba nasi goreng ini karena ibu-ibu nggak mau ribet menyiapkan makanan untuk acara tirakatan. Dan nasi goreng juga praktis, hampir semua orang menyukainya,” begitulah kata ibu ketua RT kami yang jujur sekali.  Acara yang awalnya hanya agar sekali-sekali dimanjakan oleh bapak-bapak itu berakhir meriah juga.
Teman-teman pernah merasakan nasi goreng yang sama persis di warung yang berbeda? Tidak pernah, bukan?! Begitulah uniknya nasi goreng. Meski namanya sama tapi tiap orang/warung punya ciri khas sendiri yang tidak bisa sama dengan orang lain. Bahkan dengan bumbu yang sama, hasil nasi goreng yang kami makan pun berbeda.
Begitulah setiap orang, tidak ada yang sama bahkan kembar identik sekalipun. Betapa mulia dan agungnya sang Pencipta yang membuat detail milayaran manusia di bumi dengan ciri khas masing-masing.
Dan itulah keragaman Indonesia, bhineka tunggal ika. Namanya tetap satu, Indonesia.

Bisa Dikreasikan dengan Berbagai Bahan
Ada nasi goreng telur, ayam, kambing, cumi, seafood, nanas, strawberry... hm.. apa lagi ya? Banyak sekali kan varian nasi goreng yang bisa kita temukan?
Jadi, masyarakat Indonesia pun dituntut untuk selalu bersyukur dan kreatif mengisi kemerdekaan. Menciptakan hal baru atau berkreasi dengan sesuatu yang sudah ada pun tak ada salahnya.
Dirgahayu Republik Indonesia ke 71
Merdekaa! Merdeka! Merdeka!
Hm.. ngomong-ngomong seputar nasi goreng, saya jadi pengen nasi goreng nih.
Masak dulu yuk! Hehe
Salam,

4 komentar untuk "Filosofi Nasi Goreng dan Tirakatan Dirgahayu RI Ke-71"

  1. Nama dosennya siapa tuh Rin hihihiii... boleh juga filosofinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pak Putut kalau ga salah Mba.. hihi

      tapi nggak tahu nama lengkapnya siapa.. jarang ketemu blio juga sih

      Hapus
  2. asyik banget Agustusannya, di daerahku mah cuman lomba anak-anak doang, bapak-bapaknya enggak ikutan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Disini malah ga ada lomba anak-anak Teh, adanya remaja putra dan voli bapak-bapak dan pemuda. Anak-anaknya dikit, kebanyakan keluarga yang sudah sepuh yh tggl di sekitar sini ^^

      Hapus