Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengalaman Memalukan, Ngomong sama Tembok

Awal aku memasuki dunia kampus menjadi jejak pertama aku mengenal tarbiyah. Tinggal di kos muslimah dan menjadi anggota rohis adalah pengalaman seru dan menjadi segurat kenangan indah masa lalu.
“Assalamu’alaikum, Mba saya mau tanya” Ikhwan itu berdiri dalam jarak yang masih bisa kudengar suaranya namun tak bisa dibilang dekat.
“Wa’alaikumsalam, ya, ada apa Mas?” aku tengah berjalan di lobi kampus bersama seorang teman sekelas. Kutarik tangannya dan memaksanya menemaniku sejenak. Ikhwan itu, sebutlah ia Fulan  berdiri di dekat tembok dan mengahadap ke arah lain. Aku pun demikian, sibuk menekuri lukisan yang tergambar di lantai dan mengamati sepatu serta apa saja yang bisa kupandangi di bawah sana.
“Kalian tuh kalo ngomong aneh banget, deh! Masa Fulan ngeliat ke arah mana, kamu juga ngeliatin sepatu…mulu! Takut sepatunya lari ndiri?” kata temanku sewot setelah pembicaraan kami selesai. Aku tersenyum menanggapinya.
“Hm… itu sih untuk menjaga saja, biar interaksinya nggak kebablasan”
“Tapi kalau sama yang bukan anggota Rohis kamu kaya’ gitu juga?”
“Iya,”
“Kalo kamu dianggap aneh gitu gimana?”
“InsyaAllah nggak, masih wajar aja ko, Cuma lebih jaga jarak saja. insyaAllah teman-teman juga memahami, buktinya mereka juga biasa aja kalau aku nggak mau salaman”
Temanku itu hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasanku.
***
“Mba, untuk acara gebyar Muharram besok, apa saja yang masih belum beres?”
Lagi-lagi harus koordinasi dadakan di lobi kampus, saat berpapasan dengan ikhwan yang menjadi ketua panitia. Waktu itu aku masih belum mempunyai HP, komunikasi selama ini hanya lewat syuro di basecamp rohis atau via telpon rumah saat aku di kos.
Meski sebenarnya ada rasa tidak enak saat harus berbicara di tempat umum seperti itu, toh aku tetap menanggapinya dengan berdalih itu darurat dan kasihan si ikhwan jika harus terus-terusan menelpon ke kos sementara jadwal kuliah sangat padat dan waktu luang kebanyakan hanya malam hari. 

***
Entah ini untuk ke berapa kalinya terpaksa melaporkan perkembangan persiapan acara saat berpapasan dengan beberapa ikhwan. Kali ini Fulan ditemani ketua Rohis yang tengah berjalan berlawanan arah denganku tiba-tiba berhenti dan memanggil. Tentu saja yang ditanyakan masih seputar agenda Muharram.
“Baiklah, kalau begitu… bla..bla..bla…” aku menjelaskan panjang lebar beberapa hal yang menjadi tanggung jawabku.
“Oia, saya mau Tanya.. bla..bla..bla..bla..bla..”
Tanpa menunggu jawaban dan respon dari lawan bicaraku, aku asyik menyampaikan progress bidang Dana Usaha yang mendapat tugas bagian bazaar islami. Dengan bersemangat kusampaikan bahwa beberapa penerbit dan distributor buku telah bersedia berpartisipasi, proposal 75% sudah masuk tinggal menunggu konfirmasi, untuk pakaian dan pernak-pernik muslim sudah ada beberapa yang menyanggupi untuk memasok barang-barang tetapi harus diambil oleh panitia.
“Alhamdulillah seorang kakak kelas yang punya mobil bersedia membantu untuk mengambil barang-barang. Terakhir, untuk jadwal jaga tetap masih menunggu konfirmasi beberapa orang. Selain itu setiap anggota rohis yang tidak ada jadwal kuliah dimohon untuk membantu jaga. Bla.bla.bla…“ dan masih banyak lagi yang kusampaikan kepada ketua panitia. Memang sengaja kusampaikan semuanya agar tidak perlu lagi mengulang karena jadwal kuliah pekan ini sangat padat.
Tiba-tiba seorang sahabat menepuk pundakku.
“Hai! Ngomong sama siapa, Neng?”
Aku bengong. Terkaget mendapati lawan bicaraku tadi ternyata sudah menghilang entah kemana. Dengan muka innocent aku tersenyum kecut dan celingak-celinguk mencari Fulan dan temannya.
Huff.. untunglah lobi sedang agak sepi, coba kalau ramai seperti biasanya? Bisa-bisa setiap orang yang mondar-mandir akan mengira aku sudah gila. Oh… tapi tetap saja tak terbilang rasa malu itu. Sungguh, malu semalu-malunya.
“Tadi sebenarnya lagi ngomong sama siapa?” Tanya temanku lagi masih penasaran.
“Hm… tadi lagi bahas acara rohis, ga taunya ternyata yang ngajak bicara udah pergi duluan. Mungkin buru-buru kuliah, ato suaraku terlalu kecil tadi jadi dia nggak tau kalau aku masih ngomong” kataku masih menjelaskan.
Dalam hati sebenarnya masih ada kesal yang tersisa. Jelas-jelas ikhwan itu yang mengajakku koordinasi, ternyata malah aku ditinggalkan sendirian. Heu.. kalau tidak ada teman menegurku mungkin aku masih berkoar-koar saja di sana. Ngomong sendirian dan tidak ada yang akan menjawab ataupun mendengar segala ocehanku kecuali mungkin orang-orang yang mengira aku tengah menghafal materi kuliah atau sedang merapal materi phonology yang bisa bikin kepala pening itu.
Setelah jam kuliahku berakhir, aku bergegas pulang untuk bersiap-siap membantu mengajar TPQ di kampung dekat kos. Sepanjang jalan aku kembali mengingat kejadian siang tadi. Masih tak bisa menahan senyum jika mengingatnya. Ah, sudahlah, cukup kusimpan saja kisah lucu itu rapat-rapat dalam hati. Biarlah Allah, malaikatNya, aku, dan temanku saja yang tahu. Mungkin memang teguran dari Allah karena kami koordinasi ditempat yang tak semestinya.
Hm… bukankah pelajaran berharga itu didapatkan dari pengalaman? Dan inilah pengalamanku. Sejak saat itu, aku sangat menghindari koordinasi di tengah jalan. Memang bukan tempat yang seharusnya, dan takut terjadi lagi hal memalukan yang sama.
Tentu saja aku masih ingin tertawa mengingatnya. Ha.ha.ha :D  

18 komentar untuk "Pengalaman Memalukan, Ngomong sama Tembok"

  1. Untuk nggak ada CCTV, kalau ada sudah kerekam tuh ngomong sama tembok. Hehehe

    BalasHapus
  2. Saya juga sering begitu, bukan di jalan, tapi di rumah
    Saya baru sadar isteri sudah nggak ada ketika saya ngomong
    "Eh, kalau belok kasih tanda donk," kata saya mengingatkan isteri yang suka menghilang tanpa pesan
    Salam hangat dari Jombang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah berkunjung, Pakdhe, salam hangat dari Semarang :)

      iya.. bikin gonduk ya Pakdhe :D

      Hapus
  3. Eh sekarang semua jadi tau dong cerita ini, sudah dipublish di blog :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe iya Mba, ga apa2 sih, yang kejadian juga keknya ga ngerasa ko, sudah bertahun2 yang lalu makanya berani publish :D

      Hapus
  4. Anggap saja sedang latihan drama, heheh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha. iya Mba, paling dikira anak teater lagi improv :D

      Hapus
  5. Ahahahaha....makanya kalo ngomong yg keras biar ga ditinggal lari :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kan masih malu-malu kucing, Kakak cantik... :D

      Hapus
  6. hahaha... *ngikik guling guling. aku yo pernah kok mbak. tapi di ruang syuro yang ada hijab kainnya. lhah, sing dijak ngomong ra pamitan, wis ngilang

    BalasHapus
  7. Lain kali pake mic mbak...drpd keburu ditinggal..hehe

    BalasHapus
  8. Hehehe, niatnya menjaga pandangan, eeh malah ditinggal kabur ya mbak :)

    BalasHapus
  9. Hihihihi aku senyum aja ah.
    Kalo aku, kadang liat lawan bicara tapi ya biasa aja gitu, supaya ngeh kalo dia masih disitu berinteraksi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi. dulu kan masih mahasiswa sering agak lebay Mba.. ehehe

      Hapus