Petani, Nasibmu kini...

Daftar Isi

Beberapa hari terakhir harga tomat yang tidak wajar sedang menjadi trending topic di dunia maya. Tomat kualitas bagus hanya dihargai Rp.200 – 300 oleh para tengkulak. Harga yang fantastis bukan?! Bayangkan saja harga sekilo tomat kalah dari harga sebutir permen. Ya, inilah alasan yang membuat beberapa petani sakit hati dan membuang tomat hasil panen mereka ke selokan yang akhirnya membuat para netizen berinisiatif membeli dan menjualkan tomat dengan harga yang lebih manusiawi, sekitar 5 ribu/kilo.

Aksi ini mengundang banyak simpati dari masyarakat, bahkan tak sedikit yang membeli via online.Melihat ini, saya merasa senang karena setidaknya kerugian mereka tak membesar lagi (meskipun tentu masih dengan kerugian), dan senang melihat kepedulian netizen terhadap petani.
Tapi, dalam hati saya juga iri
. Hm... waktu kecil hingga SMA waktu itu, tentu arus informasi tak secepat sekarang ini. HP menjadi barang mewah nan mahal sehingga tak semua orang bisa mengantongi.

Saya anak seorang petani sederhana di Desa yang agak jauh dari kota dan akses jalannya cukup sulit. Sekolah SD (sekolahnya di Madrasah Ibtidaiyah) sampai kelas lima tidak pakai sepatu. Ya, sekolah kami di Desa. Tidak ada sekolah TK, hanya ada kelas ‘0’ alias kelas pra SD selama kurang lebih 1 tahun (bisa kurang) karena kelasnya tidak terpisah dengan kelas 1, hanya saja untuk kelas 0 kami pulang bersamaan dengan yang lain istirahat. 

Sekolah asal memakai seragam merah-putih, dan tak perlu baru. Cukup terlihat itu merah dan putih saja. Tak pakai sepatu pun tak jadi soal. Kami bebas berlarian di sekolah berlantai semen hasil swadaya masyarakat dan bantuan pemerintah. Buku pun seadanya, terkadang satu buku kami gunakan untuk beberapa pelajaran.

Gurunya?! Tentu para pejuang tangguh yang rela berjalan pulang-pergi sejauh kurang lebih 3 KM dari sekolah, dan hanya beberapa orang guru PNS, lainnya guru honorer.
Sekolah SMPku di MTsN Kalibeber. Madrasah Tsanawiyah yang harus kutempuh dengan berjalan kaki seitar 3km melewati jalan berbatu yang terjal dan berkelok-kelok. 

Ups. Maaf keterusan bercerita. Kembali lagi tentang petani... sebagai anak petani tentu sejak kecil kami akrab dengan sawah, rumput, sayur, lumpur, padi, kerbau, bahkan lintah yang kadang mampir di kulit kami sepulang dari sawah.
Pulang sekolah dan hari libur, aktivitas kami banyak dihabiskan di sawah/ladang. Terkadang di sana pula lah kami membahas cita-cita dan rencana-rencana bersama bapak dan Ibu (yang akrab kusebut ‘Mak’e’.

Menjadi petani itu artinya berjuang, tidak kenal untung atau rugi. Saat panen berlimpah kita bersyukur ada cadangan bahan makanan atau pemasukan berlebih untuk keperluan lain, tapi saat gagal panen kita harus tetap menanam kembali seberapapun kerugiannya. Kurang lebih begitu yang disampaikan bapak.

Terkadang merasa sangat sediiih... saat pulang sekolah harus mengupas jagung kering lalu memipilnya kemudian dijual untuk uang saku besok pagi, tapi uang yang kami dapat tak sepadan dengan keringat yang keluar.
Atau saat harga cabe sangat turun, bahkan tak cukup untuk membayar ongkos pemetik, maka bapak akan berkata: “Tak apa kita petik sendiri, jangan sampai cabe-cabe itu merah, kering lalu rontok. Ia akan marah dan selanjutnya tak mau lagi berbuah”. Maka dengan sabar kami memetik satu-persatu cabe itu, sambil berdoa semoga panen selanjutnya berhasil dan harganya bagus.
Lalu saat harga sayur yang seikatnya sama dengan harga dua butir permen. Belum lagi ketika hama tikus dan wereng datang, yang artinya kami harus lebih megencangkan ikat pinggang.

Alhamdulillah, teknologi pertanian saat ini semakin meningkat, meskipun belum semuanya tersosialisasi. Petani, dengan perjuangannya di sana semoga mendapat keberkahan dan energi berlebih untuk bertahan menjadi petani. Aamiin...

*sambil nangis ingat Bapak dan Mak’e, ga kuat ngelanjutin lagi :’(

Posting Komentar

Link Banner Link Banner Link Banner Link Banner Link Banner Intellifluence Logo Link Banner