Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Suamiku jadi "Pembantu"

 

Suami rajin di rumah sama dengan pembantu?

"Dia kalau di rumah ngerjain urusan rumah tangga, jadi babu (b.Jawa:pembantu). Hahaha!"

Ketika saya mendengar ada yang melontarkan candaan itu ke suami, hati rasanya terusik. Meski itu diucapkan oleh seorang teman suami saya yang notabene akrab dan punya selera humor.

Apakah saya terlalu baper, begitu mudah tersinggung dengan candaan orang, atau memang banyolannya keterlaluan? Salahkah jika seorang suami melakukan pekerjaan rumah tangga? Sebegitu hinakah dalam pandangan laki-laki lain?

Kuhela napas, berusaha untuk meredam emosi dan sakit hati. Namun yang muncul justru sesak di dada karena merasa menjadi seorang istri yang tidak becus mengurus rumah tangga.

"Nyapu-ngepel-cuci baju aja pakai dibantu suami, istri macam apa yang begitu?" Ada bisikan yang membuatku makin tergugu.

"Hei! Kamu di rumah bukan pembantu, kamu harus bangga punya suami yang ngerti repotnya ibu rumah tangga di rumah dan mau turun tangan meringankan bebanmu," bisikan lain muncul membuatku tersenyum simpul.

Seharian saya uring-uringan, semakin terpuruk dalam rasa rendah diri, mencoba memikirkan berbagai hal tapi yang muncul hanya kekurangan-kekurangan diri.

Saat emosi mulai mereda, kuambil selembar kertas dan pena, menyelisik apa yang terjadi dalam rumah tangga kami.

Kami tinggal di perantauan, jauh dari keluarga, dengan gaji bulanan suami yang cukup untuk menjalani hidup sederhana tanpa asisten rumah tangga (ART).

Jika sehari-hari kami terlihat lelah, semoga itu wajar. Menghadapi anak 3 yang aktif bagi saya bukan hal mudah. Belum lagi ditambah pekerjaan rumah tangga yang tak ada habisnya. 

Saat suami pulang kerja seringkali tak bisa beristirahat karena ketiga anaknya berebut perhatian, mengungkapkan rasa kangen setelah ditinggal ayahnya bekerja.

Khususnya ketika akan melakukan program hamil anak ketiga, kami telah bersepakat untuk bekerja sama mengurus rumah tangga dan anak-anak. Sebenarnya, sejak masih punya anak 2 pun kami sudah melakukan hal yang sama. Ya, suami saya sendiri yang menawarkan diri untuk jadi "pembantu" karena memahami pekerjaan istri yang tak habis-habis.

Dia lahir dan besar dalam keluarga moderat yang membiasakan anak laki-laki juga memiliki keterampilan mengurus rumah tangga. Mencuci piring, menyapu, mengepel lantai, mencuci baju, adalah hal biasa yang dilakukannya.

Mungkinkah sekarang masih ada orang tua yang melarang anak laki-lakinya punya keterampilan hidup dasar seperti itu?

Ternyata, apa yang diucapkan oleh mamak saya saat kecil dulu, masih terjadi sampai sekarang.

"Jangan sampai nanti kalau punya suami, suaminya yang ngurus pekerjaan rumah tangga, jadi perempuan harus pinter di rumah," begitu ucapan mamak yang sering terngiang.

Saat itu saya hanya diam, meski dalam hati membatin, bukankah bagus jika suami mau membantu?

Begitulah. Di tengah masyarakat modern saat ini rupanya masih ada yang berpikiran sempit.

Kemarin, saya membaca meme dengan tulisan, "Sehebat apapun seorang suami belum bisa dikatakan sukses apabila anak dan istrinya terlantar atau belum merasakan bahagia dengan rasa tanggung jawabnya."

Saya setuju sekali dengan kalimat itu. Bagi saya, salah di antara hal yang membuat bahagia adalah ketika saya kecapekan mengurus anak dan rumah, ada suami yang sigap membantu. Saat saya butuh untuk aktualisasi diri dengan aktivitas di luar rumah, ada suami yang ikhlas mengasuh anak. Saat saya sudah kelebihan tangki emosi dan mulai meledak-ledak, ada yang membiarkan saya tidur dengan nyenyak. Hal-hal kecil yang membuat "tangki cinta" saya terisi penuh.

Bukankah "bahagia" bagi masing-masing orang dan keluarga itu berbeda?

Ah, barangkali mereka yang menganggap laki-laki yang mau mengurus rumah tangga itu seperti ART (atau bahasa kasarnya "babu"), hanya merasa gengsi jika melakukan hal yang sama, atau ego superiornya terusik. 

Bisa jadi dia lupa, bahwa setiap keluarga punya nilai masing-masing, yang berbeda satu sama lain. Keluarga yang belum punya anak, mereka dengan anak 1, 2, 3, dan seterusnya pasti punya prioritas yang berbeda dalam mengatur hidupnya.

Setelah dipikir-pikir lagi, akhirnya saya bisa tersenyum simpul. Iya, seperti inilah kenyataan yang kami hadapi. Pasti berbeda dengan kehidupan orang lain bahkan yang sama-sama punya 3 anak.

Buat apa saya terlalu memusingkan ucapan orang jika tak ada manfaatnya untuk perbaikan kami?

Mungkin besok-besok akan ada lagi yang menyayangkan keputusan kami untuk tinggal di kontrakan rumah petak, bukan di "rumah beneran".

Lalu, kalau mau mendengarkan kata orang terus-menerus, kapan kita punya waktu itu membahagiakan diri-sendiri dan keluarga?

2 komentar untuk "Ketika Suamiku jadi "Pembantu""

  1. Yang diinginkan istri itu suami mengerti dan membantu pekerjaannya, hal sederhana yang membahagiakan. Kadang berasa jengkel kalau pas bersih-bersih rumah, masak, dan lainnya suami malah beliin barang dan ngasih sesuatu berasa turun harga diri. Beda kalau mereka bantuin pekerjaan rumah, terima kasih sharingnya!

    BalasHapus