Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika (Terpaksa) Menjadi Ibu Rumah Tangga

bagaimana ketika terpaksa menjadi IRT

"Sayang banget ilmunya, sekolah tinggi cuma jadi ibu rumah tangga,"
"Perempuan itu harus punya penghasilan, supaya nggak tergantung sama suami,"

Beberapa tahun yang lalu, hati saya tersayat perih saat mendegar ucapan itu. Bukan, tulisan ini bukan untuk menyulut kembali momwar seputar work mama (WM) alias ibu bekerja (di luar) atau stay at home mom (SAHM) alias ibu rumah tangga yang di “hanya” rumah. Hanya sekadar berbagi cerita bahwa menjadi seorang ibu, baik di rumah atau bekerja di luar bukanlah sesuatu yang mudah. Sama-sama memiliki tantangan masing-masing. 

Suatu hari saat bertemu beberapa orang, saya diacuhkan karena dianggap saya bukan lulusan perguruan tinggi. Si Ibu hanya mengajak ngobrol orang di sebelah saya dan bercerita tentang kampus serta lapangan kerja. 

“Iya, bener. Masukin aja lamaran ke berbagai tempat. Sayang ilmunya kalau habis nikah trus nggak kerja.”

Degh! Kalimat itu bukan ditujukan untuk saya, tapi terasa seperti bogem mentah yang begitu saya memukul ulu hati. Kalimat yang membuat saya kembali goyah, sudah tepatkah pilihan untuk di rumah dan menjadi ibu rumah tangga? Benarkah ini pilihan yang dengan sadar kuambil? Atau sebenarnya karena terpaksa?

Pergumulan batin yang kemudian membawaku melihat kembali fragmen awal pernikahan. Bukan masa yang mudah, karena harus beradaptasi dengan status baru, lingkungan yang baru, dengan suami dan keluarganya. 

Ah ya, saya ingat, di awal menikah saya pernah kembali menjadi relawan di lembaga amil zakat. Sebelumnya saya juga sudah mengajukan beberpa lamaran kerja di tempat lain tetapi belum mendapatkan tempat. Tak lama setelah itu rupanya Allah telah menitipkan benih calon anak pertama. Masa-masa yang dilalui dengan morning sickness dan swing mood parah.

Saya bimbang, akan terus melanjutkan bekerja atau sementara di rumah dulu menjalani kehamilan dengan tenang? Saat membahas dengan suami, akhirnya keputusan yang diambil adalah tetap di rumah untuk menjaga diri, calon bayi, dan menemani ibu yang sendirian di rumah. 

Sebuah keputusan yang berat, mengingat sejak kuliah aktivitas saya banyak (meskipun seorang introvert) mulai dari kuliah, organisasi, relawan ngajar TPQ, sampai ngajar les dan jualan jilbab untuk menambah penghasilan dan bertahan di perantauan. Setelah lulus kuliah dan pulang kampung lalu mengabdi di lembaga sosial pun aktivitas tak kalah banyak, akhir pekan sering dipenuhi kegiatan pemberdayaan dan organisasi.

Well, di awal memang terasa sangat berat bahkan meskipun dengan sadar saya memilih untuk stay at home, bukan karena paksaan suami tapi karena hasil keputusan bersama. 

Ketika (Terpaksa) Menjadi Ibu Rumah Tangga 

“Saya ingin menjadi wanita karier, tapi terpaksa menjadi ibu rumah tangga dan di rumah saja tanpa penghasilan sendiri,”

Mungkin ada yang merasakan hal tersebut? Saya yakin meskipun menjadi IRT adalah pilihan sendiri pun, akan merasakan hal semacam culture shock di awal sebelum terbiasa dengan ritme menjadi IRT. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan saat menjadi IRT. 

Taat pada Suami 

Hasil keputusan berdua yang kami ambil tentunya juga atas ridha suami. Saya ingat, saat taaruf dengannya, salah satu pertanyaan yang saya ajukan adalah bagaimana pendapatnya tentang istri yang bekerja. Jawabannya menjadi salah satu alasan yang membuat saya mantap melanjutkan proses taaruf hingga menikah. 

Namun setelah menikah, kondisi berkata lain, bukan karena suami saya yang tidak konsisten dengan perkataannya, tetapi memang ada hal yang belum bisa dikondisikan jika saya harus bekerja full time. Dihadapkan pada hal tersebut, saya menguatkan diri untuk menerima keputusan (toh keputusan kami berdua, bukan paksaan suami), sebagai bentuk ketaatan seorang istri. Ketaatan yang mutlak jika si Suami tidak dzalim terhadap istri dan anaknya. 

Berdamai dengan Diri-sendiri

Ya, harus berdamai dengan diri-sendiri juga faktor yang penting untuk bisa melanjutkan hidup dengan bahagia. Banyak hal yang harus dipilih atau dikorbankan akibat dari satu keputusan. Keputusan saya untuk menikah dengan laki-laki dari luar kota maka saya siap untuk diajak tinggal bersamanya di tempat yang dia siapkan. Keputusan kami untuk tidak menunda memiliki momongan (jika telah diberi amanah) juga melahirkan konsekwensi lain seperti saya tidak bekerja di luar, prioritas saya berubah untuk anak dan suami, dll. 

Berdamai dengan diri-sendiri, memahami bahwa kesulitan, ketidaknyamanan yang dihadapi saat ini akan reda perlahan, akan ada masanya untuk kembali mengatur alur untuk meraih mimpi-mimpi yang belum tercapai. 

Memiliki Ruang untuk Aktualisasi 

Berdiam di rumah 24/7 setelah sebelumnya selalu aktif, bukanlah hal yang mudah. Jenuh, ingin puya penghasilan sendiri, ingin kembali beraktivitas agar tidak bosan. Beruntung saat itu saya mengenal beberapa orang yang kembali mengajak saya untuk aktif di organisasi, membantu bakti sosial, pengajian, pelatihan, dll. Namun kegiatan itu hanya sesekali di akhir pekan. Selebihnya, saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. 

Rasanya ingin menyerah, jika tidak ingat kalau kondisi memang belum memungkinkan untuk melakukan berbagai hal seperti saat sebelum menikah. Kami kembali berdiskusi setelah saya coba menyampaikan uneg-uneg, saya bosan dan butuh aktivitas lain. Suami mengetahui kesukaan saya menulis, lalu meminjamkan laptopnya untuk dipakai. Sayangnya seringkali kami harus berebut karena waktu itu PC di rumah rusak. 

Qadarullah, akhirnya saya bisa punya laptop setelah hamil kurang lebih 6 bulan dan menjalani long distance marriage (LDM). Suami membuka usaha di Surabaya, dan saya di Semarang bersama ibu mertua, sementara bapak mertua masih dinas di luar kota dan adik ipar juga bekerja di luar pulau. 

Saya seperti kembali menemukan “dunia” setelah sekian bulan jenuh dengan kegiatan yang monoton. Saya kembali aktif di media sosial dan bergabung dengan komunitas menulis serta aktivitas menulis lainnya.

Saya katakan saya juga ingin memiliki penghasilan meski dari rumah, maka suami mengizinkan saya untuk berjualan online. Bahkan merelakan sebagian tabungannya (yang dikumpulkan pelan-pelan setelah usahanya colaps) untuk membeli gamis dan perlengkapan bayi untuk dijual kembali. Rasanya bahagia meskipun sebenarnya saat itu hampir tidak ada pemasukan dari jualan online. Uang yang masuk kembali diputar untuk membeli barang, dan seterusnya. 

Penghasilan tak seberapa, tapi suami memberi izin dan mendukung, adalah kebahagiaan tersendiri. Bisa jadi, ada benarnya kalau itu adalah bagian dari doa istri yang membuat Allah makin sayang dan makin memudahkan rezekinya. 

Saat ini saya tak lagi aktif berjualan online seperti dulu, hanya menjadi marketer produk ibu dan bayi, tanpa stok barang di rumah. Toko online mati suri, hanya aktif sesekali saat memungkinkan. Alhamdulillah, saya masih memiliki kesempatan untuk aktif menulis di blog, menjadi relawan literasi (ReLi), mengikuti beberapa organisasi, dan kegiatan lainnya. 

Rumah tak selalu rapi, suasana tak selalu tenang, kadang seperti ketakutan untuk menghadapi masa depan, tetapi inilah dunia yang haris kita jalani sebagai bekal menuju kehidupan abadi.

Untuk para ibu yang tengah berjuang dalam jalannya masing-masing, you deserve the best! di tengah peran utama sebagai madrasatul 'ula (guru pertama bagi generasinya), juga sebagai istri, sebagai anak perempuan, juga sebagai seorang hamba di hadapan Tuhannya. Semoga kita bisa menjalani peran ini dengan sebaik-baik usaha kita, berdaya, menemukan passion dan berbahagia dengan caranya masing-masing, 

Semoga bermanfaat,

Salam,

1 komentar untuk "Ketika (Terpaksa) Menjadi Ibu Rumah Tangga "

  1. Sering banget gitu, terutama perempuan pasti rasain banget hal ini ya walaupun akhirnya di dapur tapi beda sih dapurnya kayaknya sama yang tidak melanjutkan pendidikan. Suaminya juga pasti beda kualitasnya, memang bagaimanapun kodratnya perempuan taat pada suami juga. Terima kasih informasinya!

    BalasHapus