Hati-hati! Jaga Ucapan Saat Emosi
Daftar Isi
Saat emosi seseorang tengah memuncak, apapun bisa dilakukannya dengan
serta-merta dan energi yang melebihi keadaan normalnya. Sering terjadi
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena salah satu atau keduanya lepas
kontrol saat sedang dalam kondisi marah. Lebih fatal bisa memantik hingga
terjadinya pembunuhan. Na’udzubillahi
min dzalik.
Bagi seorang muslim, tentunya kita percaya jika perkataan adalah do’a,
pun apa-apa yang kita ucapkan dalam hati meski tak sampai keluar lewat mulut
kita. Padahal, seringkali sesumbar mulut adalah yang paling mudah saat diri
tengah dikuasai emosi. Astaghfirullah,
acapkali saat siKecil berulah dan saya lepas kendali, yang menjadi perhatian
adalah mulut yang begitu cepat dan mudahnya membombardir mengeluarkan
peluru-peluru tajam. Bersyukur ada suami yang selalu mengingatkan bahwa saat
marah, perbanyaklah istighfar dan mendoakan yang terbaik, bukan mengumpat yang
bukan-bukan apalagi persoalan anak. Jangan sampai masa depannya buruk karena ‘do’a
tak sengaja’ yang kita lontarkan saat marah.
Suami dan saya sama-sama punya pengalaman tentang hal ini, dan akibatnya
kami juga yang harus menanggung. Hm.. semoga bukan semacam membuka aib ya,
temans. Hanya ingin berbagi pelajaran semoga yang lain tidak mengalami seperti
kami.
Sekitar 2 tahun yang lalu, suami mengabdi di lembaga sosial. Saya paham
dengan konsekuensinya, karena saya pun pernah bekerja di lembaga yang hampir
sama sebelum menikah. Hari libur yang hampir tak pernah libur, pulang malam
dengan membawa setumpuk pekerjaan, lembur – lembur, dan banyak hal yang harus
dikorbankan. Puncaknya adalah saat lembaga mengadakan event, rasanya sedikit
sekali waktunya di rumah.
Saya yang awalnya memahami kondisi lama kelamaan tersulut juga emosinya. Kadang
saya sudah mengagendakan hari libur untuk quality
time bersama keluarga, nyatanya harus
gagal karena suami ada agenda mendadak. Tak hanya sekali dua kali, akhirnya
saya pun sering protes jika suami pulang larut malam atau membatalkan rencana
yang sudah kami buat karena ada agenda pekerjaan yang harus diselesaikan meski
hari libur.
Puncaknya, suatu hari kami mengagendakan pulang kampung dengan sepeda
motor. Kalau tidak salah ingat waktu itu idul adha. Berhubung ada banyak acara
selain penyembelihan hewan qurban rutin, kami harus menunda rencana kepulangan
kami hingga 2 hari ke depan. Meski kesal dan kecewa, saya pun harus menerimanya.
Bagaimana lagi? Itu bagian dari tanggung jawabnya di tempat kerja.
Kami sepakat berangkat pagi – pagi untuk menghindari hujan dan kesorena
di jalan, kasihan si Kecil kalau kedinginan. Namun tiba-tiba ada panggilan
masuk ke HP suami, ada masalah yang harus diselesaikan segera. Saya hanya diam,
meski rasanya ingin menumpahkan emosi seketika. Baiklah, semoga siang nanti
sudah selesai sehingga kami bisa langsung berangkat.
Tunggu punya tunggu, ba’da dluhur suami belum pulang dan tak jelas
kabarnya. Hanya sempat membalas WA dan berjanji akan pinjam mobil jika kesorean
dan tidak memungkinkan berkendara dengan sepeda motor membawa batita. Saya sudah
tidak peduli dengan apa yang dijanjikan, terlanjur kesal karena menghubungi
berkali-kali tidak nyambung. Rasanya campur aduk antara marah, sedih, kecewa,
kesal, dan capek menunggu seharian. Belum lagi jika teringat saya sudah
kehilangan moment yang sudah dibahas bersama adik-adik saya sebelumnya jika
saya pulang kampung.
Mungkin karena bisikan setan juga (bukan meng-kambing hitamkan setan loh
:D), kekesalan itu berbuntut pada umpatan tak jelas terhadap suami
(astaghfirullah) mulai dari yang nggak memperhatikan keluarga lah, hanya
mikirin kerjaan lah, dan entah apa lagi yang sudah tak kuingat. Intinya siang
itu ingin membuang kekesalan tapi salah jalur.
Menjelang maghrib barulah suami pulang dan kami langsung bersiap berangkat.
Saya sempat memintanya menunda berangkat hingga esok pagi agar bisa istirahat
terlebih dahulu tapi tak digubris. Bismillah, kami berangkat dan suasana hatiku
mulai berangsur membaik.
Di tengah perjalanan, kami belum ke luar dari Kota Semarang tepatnya,
ternyata HP suami yang biasanya tersimpan di tas kecilnya telah raib! Dihubungi
berkali-kali nomor aktif tapi tak ada yang menjawab teleponnya. Hm.. kemungkinan
besar HP kesayangan yang baru dibelinya dua bulan yang lalu itu terjatuh dalam
perjalanan mengurus acara tadi.
Deg! Astaghfirullah...! saya
menganggap ini adalah tamparan untuk saya, bukan untuk suami. Ya, teguran langsung
dari Allah bahwa saya sebagai istri harusnya bersyukur dengan bagaimanapun
kondisi suami, dan mendoakan yang baik baginya. Saat sedang marah, berusahalah
untuk cepat-cepat cooling down, atau katakan saja padanya ‘saya
sedang marah’ (pasti malah jadinya lucu), dan doakan yang terbaik, jangan
sampai lepas kontrol menjadi ucapan buruk yang didengar Allah dan malaikat.
Hiks. Siapa yang tak sedih? HP belum lama dan artinya harus beli lagi
karena itu kebutuhan primer untuk support
pekerjaan suami.
Lalu beberapa waktu yang lalu saya mengalami (lagi) kejadian yang hampir
sama. Sekitar bulan Maret saya mendapat hadiah 1 unit smartphone dari lomba. Senang
dan syukurnya bukan main, karena ini HP pertama yang didapat dari lomba blog. Saat
hadiah itu sampai di tangan, suami pu n berpesan “Ingat lho, jangan sampai
kalap setelah punya HP 2. Manfaatkan sebaiknya tapi jangan lupa waktu.”
Beberapa hari setelahnya saya sempat mengisi baterai saat pagi hari dan 2
HP dalam kondisi mati hingga saya menyelesaikan urusan rumah dan anak. Kadang jam
10 atau lebih (biasanya setelah baterai benar-benar full) baru saya nyalakan
kembali. Har-hari itu suami saya juga sedang sibuk merintis usaha bersama
temannya. Beberapa kali butuh menghubungi saya untuk sharing ini – itu atau
sekadar tanya beli apa di mana, endebrebrebre.
“Kalau ngecaz malam aja tho Bun, biar pagi kalau dihubungi nggak
susah,” saya pun mengiyakan dan berusaha mengisi daya saat malam hari. Tapi tak
berlangsung lama, lagi-lagi saya kembali pada kebiasaan isi batterai pagi hari.
Dan akibatnya suami harus rempong bolak – balik ke rumah untuk keperluan yang
seharusnya bisa saya lakukan jika saya bisa dihubungi via telpon.
Menjelang idul fitri tiba – tiba si HP ngadat, tak mau dicaz. Saya pun
galau, bagaimana mungkin HP baru langsung rusak? Sakitnya tuh di mana-mana. Ya mungkin
juga sebenarnya wong barang elektronik mah nggak bisa ditebak meski sudah
dengan penggunaan yang teratur dan rajin merawatnya. Dicoba dengan charger HP
lain pun tetap tak mau mengisi daya. Yasudah, berhubung masih moment lebaran
saya simpan HP itu dan menunggu ada kesempatan bisa datang ke service
center-nya di Semarang.
“Maaf ya Bun, itu HP rusak sepertinya teguran buat Ayah,”
“Ko bisa?”
“Itu lho, pas Bunda nggak bisa dihubungi padahal Ayah lagi riweuh, dalam hati dongkolnya bukan main
dan terucap ‘buang aja HP-nya! HP 2 nggak ada yang bisa dihubungi’ dan entah
apa lagi yang hanya terucap di hati.”
Saya hanya diam, karena hilangnya HP kesayangannya dulu juga ‘berkat’ ‘do’a’
saya.
“Maaf juga Yah, HP Ayah yang hilang dulu itu kasusnya juga hampir sama...
blablabla... “ mengalirlah cerita
lama yang sebenarnya ingin kuhapus itu.
Siang itu kami belajar (lagi), bahwa benar sekali jika ucapan adalah do’a,
maka usahakanlah yang keluar dari mulut adalah apa-apa yang baik saja. Mau itu
untuk diri sendiri, untuk suami, keluarga, apalagi untuk anak. Jangan sampai
masa depannya tergadaikan karena perkataan yang kita lontarkan saat emosi. Na’udzubillah min dzalik.
Semoga bermanfaat,
Salam,
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
Kadang aisyah lebih suka nangis kalau emosi, susah mengungkapkan lewat kata-kata..