Ketika si-Dia tak Kunjung Melamar

Daftar Isi

Assalamu’alaikum, Temans.
Menyambung tulisan sebelum ini tentang mapan setelah menikah, tadinya mau ditulis sekalian tapi sepertinya bakal terlalu panjang jadi dibuat tulisan baru lagi aja. Apalagi  pagi itu buru-buru mau ada acara *alasan*
Seorang teman curhat, hatinya dilanda galau karena si pujaan hati yang telah dua tahun berpacaran tak kunjung meminangnya. Berkali-kali ia mencoba memancing pembicaraan ke arah sana, tetapi jawabannya tetap sama mengenai kekhawatirannya terhadap urusan ekonomi. Setiap kali ada pembahasan itu, sontak ia marah dan mengalihkan topik obrolan.

Bagi seorang perempuan, digantung seperti itu apalagi telah lama menjalin hubungan perkenalan tentu menjadikannya tak enak hati. Sudah sering terlihat berdua, wira-wiri boncengan, ngetrip berdua tapi tak kunjung menikah, rasanya malu... begitu tambahnya. Saya pun mengiyakan, karena sebenarnya keduanya sudah cukup umur untuk menikah. Sudah cukup dewasa si perempuan, entah pacarnya karena saya tak mengenalnya dengan baik.
Di hadapannya kemudian saya bercerita bahwa saat saya menikah kondisi kami jauh dari kata mapan, bahkan hampir tak berpenghasilan. Sampai saat ini juga belum mapan, tapi insyaALlah selalu ada jalan saat kami berusaha mengais rejeki. Saya ceritakan juga beberapa teman dan adik kelas yang menikah saat masih berstatus mahasiswa dan benar-benar memulai segalanya dari nol.
Sayangnya, sampai berkali-kali saya memberikan argumen, selalu mentok pada kalimat ‘dia belum siap dan merasa belum cukup mapan untuk menikah’.
Saya tertegun, lama. Bukankah Allah menjanjikan akan menjadikan kaya sesiapa yang menikah? Mau menunggu punya rumah dulu? Menunggu punya kendaraan yang nyaman dulu? Menunggu punya ini-itu dulu? Lalu kapan nikahnya?
Saya setuju jika seorang laki-laki seharusnya memang sudah menyiapkan kemapanan saat ia akan menikah. Karena faktanya, banyak kasus perceraian terjadi di Indonesia bersumber dari faktor ekonomi. Na’udzubillah min dzalik.
Tapi bukankah mapan dengan berpeluang mapan itu berbeda? Jika ‘mapan’ artinya sudah punya investasi untuk masa depan yang mencukupi, misalnya. Berpeluang mapan berarti laki-laki itu tengah berusaha untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Catat, kebutuhan hidup bukan gaya hidup. Perlu diingat juga, segala yang sudah ada di tangan meski terlihat seolah itu jaminan kepastian, jika Allah belum ridha maka mudah saja bagiNya untuk mengambil kembali.
Laki-laki yang baik tentu dia akan paham akan tanggung jawabnya sebagai (calon) suami untuk memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Apakah dengan mempunyai pekerjaan dan berpenghasilan tidak cukup sebagai indikasinya? Lagi-lagi tergantung persepsi setiap orang.
Kalau alasannya adalah ekonomi, toh banyak pasangan yang menikah dalam kondisi nol bahkan minus (termasuk kami). Kemapanan ekonomi memang salah satu ((salah satu ya, ada banyak yang lain) hal yang bisa meminimalisir pertengkaran. Tapi hati-hati juga, karena kemapanan pun bisa menjadi penyebab runtuhnya bangunan rumah tangga. Na'udzubiilah min dzalik (lagi). Semuanya tergantung pada kesiapan keduanya untuk menjalani kehidupan setelah menikah.
Kalau mau menunggu mapan, kapan nikahnya?! Meski jodoh adalah ketentuanNya, tapi menyulitkan diri akan merugikan diri sendiri juga. Tak perlu dibuat sulit, menikah itu yang penting halal dihadapanNya dan hitam-putih pencatatan negara.
Saya pun menceritakan curhatan teman itu kepada suami, untuk mendapatkan feedback dari kaum adam. Paling tidak ada sample tentang cara berpikir laki-laki sebelum memutuskan untuk menikah.
“Wajar, itu kekhawatiran laki-laki manapun, takut tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya,” jawabnya lugas.
“Hm... bukankah rejeki bisa dicari berdua? Well, meskipun kedengarannya klise. Toh kita pun seperti itu,” sergahku
“Iya, tapi tetap, laki-laki normal tentu ingin membahagiakan orang-orang yang dicintainya. Ia tak ingin keluarganya hidup susah dan menderita.”
“Kalau si perempuan sudah menyatakan sanggup menghadapi, bagaimana?”
“Itu berarti harus dikembalikan kepada pihak perempuannya dan keluarganya. Selama bergaul, dia menyiratkan bahwa dia siap untuk hidup sesuai dengan standar si laki-laki itu atau tidak? atau justru dia selalu terlihat jauh dari jangkauan calon suaminya, sehingga ia merasa tak cukup untuk mengikuti selera istrinya kelak.”
“Sebegitukah mikirnya?”
Yup! Laki-laki juga akan mengkeret ketika datang ke orangtua perempuan yang akan dilamarnya tiba-tiba disodori dengan daftar belanja dan daftar kebutuhan pernikahan, misalnya. Sementara dia hanya punya dana yang cukup untuk mengadakan resepsi sederhana.”

Credit Fiqih17 (dot) com

Antara keinginan orangtua dan ‘panjang kail’
Bagaimana jika keluarga ingin acara yang besar? Sementara uangnya belum jelas darimana?
Ini juga yang menjadi persoalan kenapa si dia tak kunjung melamar.
Maka tugas kedua mempelai adalah untuk meyakinkan kepada orangtua bahwa yang utama bukanlah perhelatan nikahnya, tetapi perjanjian di hadapanNya.
Tak mudah lho, mengkondisikan soal ini kepada orangtua. Apalagi mereka pasti inginnya anak-anaknya menikah dengan meriah, mengundang banyak tamu, juga dengan hiburan dan jamuan aneka rupa.
Sesekali ajaklah orang tua untuk datang bersama memenuhi undangan pernikahan teman kita, atau mungkin menemaninya menghadiri undangan dari koleganya. Kesempatan seperti itu sangat tepat untuk mengutarakan keinginan kita jika kelak mengadakan resepsi pernikahan.
Misalnya ingin acara yang sederhana saja, atau ingin begini dan begitu yang kita sesuaikan dengan kondisi kita dengan calon pasangan. Atau cukup menikah di KUA lalu mengadakan jamuan makan mengundang keluarga dekat dan tetangga/sahabat, dan sebagainya.
Saya pun dulu pernah sesekali meyampaikan jika menikah nanti saya ingin tamunya dipisah antara laki-laki dan perempuan, tapi cukup dengan pembatas pot. Acara yang diadakan sederhana saja dengan mengundang keluarga dan teman-teman, dan lain-lain. Meski awalnya seolah tidak setuju, jika kita sering mendiskusikan hal tersebut lama-lama orangtua akan luluh juga.
Umumnya biaya pernikahan itu share antara pihak laki-laki dan perempuan, atau di beberapa tempat justru dibebankan semuanya kepada salah satu pihak. Jika hal ini tidak dikomunikasikan, akan menjadi masalah dua keluarga di kemudian hari.

Kewajiban Mengadakan Walimah (Resepsi Pernikahan)
Tatkala ‘Ali meminang Fatimah Radhiyallahu anhuma ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya merupakan keharusan bagi pengantin untuk menyelenggarakan walimah.”
Nah, mengadakan resepsi itu wajib bukan? Tapi kewajiban ini adalah untuk mensyiarkan bahwa si Fulan dan Fulanah telah resmi menikah, agar tidak ada fitnah saat orang lain melihat mereka jalan berdua, misalnya.
Tetapi kewajiban ini juga tidak bisa dijadikan alasan untuk mengadakan walimah besar-besaran bagi yang memang tidak mampu. Inti wajibnya adalah pada memberitahukan pernikahan antara keduanya. Jika ada dana berlebih untuk mengundang orang banyak, why not? Tapi jika dana terbatas tak perlu berkecil hati.
Pernah lho, saya menerima ‘undangan’ teman yang menikah lewat facebook dan SMS namun diberi catatatan ‘Mohon maaf karena keterbatasan kami, pemberitahuan ini bukan sebagai undangan resepsi, hanya syiar bahwa kami akan melangsungkan akad nikah’. Kurang lebih seperti itu, redaksi tepatnya saya lupa. Salut sekali dengan mereka. Orang-orang mengetahui mereka menikah, tetapi mereka pun tidak mengeluarkan banyak dana karena memang kondisinya seperti itu.
Jika sebelum menikah laki-laki atau perempuan masih nggrambyang alias pikirannya kemana-mana, maka setelah menikah fokusnya adalah satu: bagaimana menjadikan keluarga sakinah, mawaddah, rahmah. Dengan jalan yang berbeda oleh tiap-tiap orang tentunya. Dan tidak mengesampingkan urusan individunya.
Misalnya, sebelum menikah ketika ingin membeli sesuatu tanpa pikir panjang langsung pilih ini-itu. Tapi setelah menikah alasan kemaslahatan keluarga menjadi lebih penting.
Kondisi setiap orang berbeda, tapi ingatlah, janji Allah itu pasti.
JIka jodoh belum datang artinya memang belum dipertemukan dengan orang yang tepat. Selayaknya laki-laki yang baik ia akan menyiapkan dan memantaskan diri, pun bagi perempuan, Memantaskan diri sesuai fitrahnya selama masa penantian akan berbuah indah kelak. 
Allah akan memberikan jalan bagi siapapun yang berusaha. Semoga bermanfaat!

Salam, 

23 komentar

Terimakasih Telah membaca dan memberikan komentar di blog ini.

Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)

Salam
Comment Author Avatar
3 Februari 2017 pukul 08.34 Hapus
Ketika menikah, kami pun memulai dari nol. Alhamdulillah, meski pas-pasan namun kami masih bisa makan 3 kali sehari. Saran saya buat temannya, disegerakan aja niatnya. Semoga dimudahkan....
Comment Author Avatar
14 Februari 2017 pukul 15.49 Hapus
Aamiin... mohon doanya ya Mba.. :*
Comment Author Avatar
3 Februari 2017 pukul 12.22 Hapus
susah ya mbak kalo pola pikirnya si cowok udah terlanjur merasa 'belum siap, belum siap, belum siap'
Comment Author Avatar
14 Februari 2017 pukul 15.50 Hapus
Iya Mba, padahal kunci utamanya kan ya di cowoknya itu.. :(
Comment Author Avatar
3 Februari 2017 pukul 12.41 Hapus
Mba Arin, aku mau japri dunkz... boleh ya? Ya? Ya?
Comment Author Avatar
14 Februari 2017 pukul 15.50 Hapus
With pleasure, Dear :)
Comment Author Avatar
3 Februari 2017 pukul 12.44 Hapus
Digantung emang enggak enak ya, Mbak. Dan benar sekali, mengkondisikan orangtua itu enggak gampang. Terkadang mau kita beda dengan mau orangtua.
Comment Author Avatar
14 Februari 2017 pukul 15.51 Hapus
Iya Mba, karena mungkin pola pikirnya beda, yang pasti sih ortu juga inginnya anaknya bahagia ya :)
Comment Author Avatar
3 Februari 2017 pukul 21.25 Hapus
Menikah adalah salah satu resolusi saya di tahun 2017, semoga Allah meridhoi dan disegerakan
Comment Author Avatar
14 Februari 2017 pukul 15.51 Hapus
Aamiin... semoga dimudahkan :)
Comment Author Avatar
4 Februari 2017 pukul 08.44 Hapus
Makanya jangan pacaran mulu, putuskan atau halalkan, buruan menikah, 😅, tegesin gitu aja coba Mbaak 😀
Comment Author Avatar
14 Februari 2017 pukul 15.52 Hapus
Sudah saya sarankan begitu Mba.. tapi namanya lagi jatuh cintrong, ada aja alasannya :(
Comment Author Avatar
4 Februari 2017 pukul 10.04 Hapus
banyak org yg belum bisa menurunkan gengsinya jd nikah ribet, kasihan yg benar2 ingin nikah
Comment Author Avatar
14 Februari 2017 pukul 15.53 Hapus
Betul Mba... padahal harusnya tolok ukurnya yang penting halal, dalam hal cari rejeki :)
Comment Author Avatar
5 Februari 2017 pukul 06.16 Hapus
Tak dipungkiri Mbak, temanku banyak yang menunda menikah ntar saat sudah sukses ya karena takut hidupnya nanti tak tercukupi. Saat ini mereka nabung dulu. Katanya gitu.

Malah ada yang nikah nanti nanti, setelah menikah, mau punya anak juga nanti-nanti kalau sudha mapan. Ini gimana nih?
Comment Author Avatar
14 Februari 2017 pukul 15.54 Hapus
Mungkin harus ada yang mengingatkan Mba, bahwa kemapanan pun bisa saja tiba-tiba diambil oleh Allah. semuanya Allah yang berkehendak. siapa tahu yang sekarang kelihatan tidak punya apa-apa ternyata Allah ngasih jalan kemudahan untuk jadi orang sukses secara materi? :)

Allahua'lam
Comment Author Avatar
6 Februari 2017 pukul 14.16 Hapus
Bener juga opini suamimu Rin. Mungkin saja si cowok ini melihat gelagat tuntutan ekonomi dari pihak ceweknya juga kali. Atau kalau memang dia masih takut nantinya tidak bisa mencukupi, dikasih tenggang waktu saja mau sampai kapan ketakutan itu dipelihara. Mau bertahun2 juga tetep bakalan seperti itu jika pasangan tsb tidak berusaha untuk melangkah ke level yang lebih tinggi.
Comment Author Avatar
14 Februari 2017 pukul 15.55 Hapus
Wah, betul juga ya Mba, dikasih deadline. kalau sampai tenggat waktu masih takut juga, tinggalin :D
Comment Author Avatar
9 Februari 2017 pukul 11.55 Hapus
Tergantung niat sih ya mbak Arina. Dulu kami menikah karena faktor usia dan yang penting suami sudah bekerja, sayapun kebetulan juga bekerja. Belum punya rumah alias masih ikut mertua dan kadang nginep di rumah ortu. Dan alhamdulillah sampai sekarang rejeki selalu ada meskipun kami bukan termasuk orang yang kaya. Yang penting disyukuri saja dan niat membangun keluarga samara, aamiin :)
Comment Author Avatar
14 Februari 2017 pukul 15.56 Hapus
Iya Mba, insyaAllah selalu ada rejeki dari Allah asal kita mau berusaha. btw saya juga masih tinggal di rumah mertua. awalnya berasa malu.. gitu kalau ketemu orang dan cerita2 kalau masih numpang di rumah ortu, tapi lama-lama bersyukur juga, karena rejekinya masih begini :)
Comment Author Avatar
13 Februari 2017 pukul 15.50 Hapus
Betul banget rina..banyak yang pikirannya sama kayak kita..mulai dari nol juga tapi diluar sana ada lebih banyak yang berfikir belum bisa membahagiakan orang yang disayangi kalu belum mapan menurut standarnya masing-masing.. kita doakan semoga temen Rina bisa segera menemukan solusi ya :D Amin
Comment Author Avatar
14 Februari 2017 pukul 15.56 Hapus
Aamiin... semoga ada wini-win solution buat mereka. Makasih Dani :*
Comment Author Avatar
15 Februari 2017 pukul 23.06 Hapus
kami pun punya pertimbangan ya samaaa...semoga lancar buat semua yang akan segera menikah :)
Link Banner Link Banner Link Banner Link Banner Link Banner Intellifluence Logo Link Banner