Mengabadikan Pesona Klenteng Sam Poo Kong Semarang
Daftar Isi
Klenteng Sam Poo Kong Semarang foto koleksi pribadi |
Salah satu pesona wisata Kota Semarang dengan arsitertur khas adalah Klenteng Sam Poo Kong. Terletak di
daerah Simongan, sebelah barat daya Kota Semarang. Klenteng ini merupakan
sebuah petilasan atau persinggahan pertama seorang Laksamana Tiongkok, Cheng Ho.
Masyarakat setempat mengenalnya dengan ‘Gedung Batu’ sehingga daerah sekitarnya
pun dinamai Gedung Batu.
Laksamana Cheng Ho adalah seorang muslim, dan menurut yang dilansir oleh wikipedia, terdapat tenda yang
menunjukkan sebagai bekas petilasan yang berciri keislamanan dengan
ditemukannya tulisan berbunyi 'Marilah
kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al Qur'an'.
Disebut Gedung Batu karena bentuknya merupakan sebuah Gua Batu besar yang
terletak pada sebuah bukit batu, orang Indonesia keturunan cina menganggap
bangunan itu adalah sebuah kelenteng - mengingat bentuknya memiliki arsitektur
bangunan cina sehingga mirip sebuah kelenteng. Sekarang tempat tersebut
dijadikan tempat peringatan dan tempat pemujaan atau bersembahyang serta tempat
untuk berziarah. Untuk keperluan tersebut, di dalam gua batu itu diletakan
sebuah altar, serta patung-patung Sam Po Tay Djien. Padahal laksamana Cheng Ho
adalah seorang muslim, tetapi oleh mereka di anggap dewa. Hal ini dapat
dimaklumi mengingat agama Kong Hu Cu atau Tau menganggap orang yang sudah
meninggal dapat memberikan pertolongan kepada mereka. (wikipedia)
Konon wilayah Simongan dulunya adalah tepi pantai tempat dimana Laksamana
Cheng Ho mendaratkan kapalnya setelah mengarungi lautan. Pendaratan darurat itu
dilakukan karena banyak awak kapalnya yang sakit. Setelah membuang sauh mereka
bersembunyi di dalam goa dan mendirikan masjid yang kini berubah fungsi menjadi
klenteng.
Kini wilayah Simongan telah berubah menjadi daratan dan berada tak jauh
dari pusat kota Semarang. Hal ini disebabkan oleh proses sedimentasi sehingga
wilayah daratan pulau Jawa melebar ke utara.
Selalu ramai pengunjung di akhir pekan koleksi pribadi |
Kini, klenteng Sam Poo Kong telah menjadi destinasi wisata yang ramai dikunjungi turis
terutama turis lokal. Masyarakat Semarang dan sekitarnya menjadikannya sebagai
tempat yang menarik untuk berwisata sejarah, wisata religi bagi masyarakat
Konghuchu, juga menjadi tempat berkumpulnya anak muda melepas penat di akhir
pekan dan ber-selfie ria dengan background bangunan klenteng yang khas
dengan nuansa merah dan emas.
Dengan membayar tiket masuk Rp. 5.000 pengunjung sudah bebas memasuki
area umum klenteng Sam Poo Kong. Sedangkan bagi mereka yang akan sembahyang,
dipatok tarif khusus sebesar Rp. 30.000 dan bisa memasuki area dalam klenteng
yang khusus untuk sembahyang.
Klenteng yang buka sejak pukul 8 pagi hingga 9 malam ini, juga menarik
pengunjung saat malam hari dengan banyaknya lampion merah yang dipasang di
sekeliling.
Sudah beberapa kali saya datang ke sana. Pertama kali adalah saat masih
mahasiswa, datang tanpa rencana bersama seorang kawan, menikmati keindahan
lampion dan mengambil foto suasana. Sayang waktu itu mau transfer foto ke
komputer ternyata micro SD kena virus dan foto raib tanpa terbackup. Hiks. Kali kedua saat sudah bekerja,
datang bersama rekan kerja di sela kegiatan raker akhir tahun kantor.
Peserta pelatihan koleksi pribadi |
Ketiga kalinya adalah saat mengikuti pelatihan fotografi beberapa waktu
yang lalu. Kami mendapat tugas untuk hunting
foto didampingi oleh mentor yang sudah berpengalaman. Sam Poo Kong dipilih karena lokasinya yang
paling dekat dengan tempat acara.
Saya berboncengan dengan salah satu peserta perempuan (hanya kami berdua yang
perempuan :D) menuju Sam Poo Kong. Sepanjang perjalanan yang hanya menempuh
waktu 5 menit itu saya mengingat-ingat seperti apa Sam Poo Kong, karena sudah
bertahun-tahun tak pernah menyambangi lagi.
My partner in crime. hihi foto koleksi pribadi |
Sampai di sana, rupanya pemandangan di halaman masih sama persis seperti
dulu. Memasuki area Klenteng, baru terlihat perbedaannya. Jika dulu hanya
terdapat kursi-kursi berbentuk silinder di bawah pohon beringin, sekarang
kursi-kursi itu bertambah dengan adanya kursi panjang yang jumlahnya cukup
banyak.
Lalu di sebelah kiri pintu masuk, dulunya hanya lapangan luas, sekarang
telah berdiri bangunan kokoh yang mirip aula bertingkat. Gedung utama dan
lainnya masih sama seperti dahulu, berjajar di sebelah kanan hingga ke ujung
area. Di depannya berdiri patung besar Laksaman Cheng Ho dan beberapa patung
lain. Juga terdapat prasasti yang tertulis dalam tiga bahasa (Indonesia,
Inggris dan Mandarin).
Ornamen bangunan dan detail-detail yang terdapat di bangunan maupun di
sekelilingnya, sangat kental sekali dengan nuansa Tiongkok. Warna merah, emas,
gambar naga, lampion, dll. Ada keinginan pergi ke negeri tirai bambu tapi belum
tersampaikan? Nah, sekiranya mengunjungi klenteng ini bisa mengobati kerinduan
hati. Tsah!
Oia, saya ingat saat terakhir kali ke sana tahun 2011 (atau awal tahun
2012) ada pertunjukan Barongsai oleh anak-anak usia sekolah. Kami pikir itu
pertunjukan rutin, tapi terakhir kali ke sana tidak ada pertunjukan. Entahlah,
saya sendiri tidak sempat bertanya kepada petugas jaga.
Hari Sabtu, maka sudah terbayang banyaknya pengunjung yang datang ke
sana. Kami pun mencoba mempraktikkan teori yang sudah kami dapat sebelumnya. Namun,
rasanya belum ada satu pun kasil jepretan yang dinilai bagus oleh fasilitator. Hadeuh! Mulai dari angle yang kurang pas, objeknya kurang fokus, candid tapi wajahnya hampir nggak terlihat, dll.
candid. tapi akhirnya ngobrol-ngobrol dan izin ambil foto koleksi pribadi |
Hfft! Bisa dibayangkan dong, di
Sam Poo Kong pada pukul 13.30! panasnya wow sekali apalagi saya pakai gamis
hitam. Sebagian pengunjung memadati kursi-kursi di bawah beringin sembari
menikmati segelas es dari penjual es di sekitar area, sebagian lagi masih asyik
menantang matahari.
Penat juga ya rasanya hunting
foto. Sumpah ini baru pertama kalinya saya benar-benar hunting foto, bukan pergi ke suatu tempat dengan niat jalan-jalan
tapi tak henti foto-foto. Beberapa pengunjung yang kami candid sering menatap
curiga, tapi kami sungkan untuk meminta izin dan menjadikan mereka ‘model’
dadakan. Objek foto kami hanya seputar bangunan (yang selalu dipenuhi orang),
pengunjung, dan sesama peserta pelatihan.
Akhirnya beberapa menit sebelum penutupan, sambil beristirahat di area
yang dipenuhi rumput, kami berkenalan dengan Mbak Siti dan teman-temannya yang
sedang menikmati hari liburnya. Alhamdulillah, lumayan lah bisa jadi foto yang
cukup ‘bicara’ katanya. Meskipun hasilnya masih jauh dari kata bagus.
Mba Siti dan kawan-kawan, mencari hiburan di akhir pekan koleksi pribadi |
Bersyukur juga, setelah lama ingin ke sana lagi tapi belum kesampaian,
ternyata ada moment ini yang membuat saya bisa ke sana dengan teman, bukan
dengan suami dan anak. Lain kali semoga bisa hanting foto sendiri yang lebih
kondusfif. Iya sih, sebelumnya sudah diingatkan oleh pembicara kalau mau hunting
foto landscape sebaiknya jangan saat pengunjung berjubel. Lebih baik mencari
waktu pagi hari saat tempat wisata baru dibuka, dan bukan saat week end.
Setelah pelatihan ini, hasil fotonya juga masih begitu-begitu saja. Tak
apa, karena seperti keahlian apapun semuanya alah bisa karena biasa. Makin tinggi
jam terbang makin ahli pula memainkan kamera.
Semoga bermanfaat,
Salam,
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam