Perjalanan Mudik Sepenuh Cinta
Daftar Isi
ilustrasi, credit pixabay |
Idul fitri, adalah hari yang dinantikan oleh seluruh penduduk Indonesia
karena hari itu artinya libur dan cuti nasional selama beberapa hari. Jika di
negara timur tengah sana masyarakat merayakan Idul Adha dengan gegap gempita,
maka di Indonesia sebaliknya. Moment idul fitri-lah yang paling istimewa. Karena
telah menjadi budaya yang mengakar bahwa idul fitri adalah saatnya mengunjungi
kampung halaman, berasyik masyuk dengan keluarga besar yang jarang ditemui. Saatnya
menjalin silaturrahim dengan sanak saudara setelah berbulan-bulan menjalani
hidup di perantauan.
Teman-teman, pernah merasakan idul fitri penuh sensasi? Pasti sering ya,
terutama buat para mudik-ers. Saya sendiri merasakan sensasi mudik semenjak
menjadi mahasiswa. Memang tidak sedahsyat perjuangan mudik teman-teman yang
harus terjaga malam-malam untuk online demi mendapatkan tiket kereta api sejak
jauh hari, atau harus berdesakan kereta api saat sistem perkereta apian di
indonesia belum sebagus saat ini. Ada juga yang rela mudiknya diundur karena
tidak mendapatkan tiket pesawat terbang, atau bahkan harus menahan haru
menjalani hari idul fitri di kos yang sepi.
Salah Naik Bis
Pertama kali saya mudik dulu, adalah sekitar 4 bulan setelah saya menjadi
mahasiswa baru dan tidak pulang selama itu. menunggu waktu pulang rasanya
seperti menggenggam bara api di tangan. Malam-malam tidak bisa tidur dan
setelah akhirnya tertidur, mimpinya pun seputar pulang kampung. Betapa rindu
membuncah kepada Bapak dan Mamak, juga si bungsu yang sedang lucu-lucunya, usia
3 tahun waktu itu.
Pukul 5.30 pagi saya telah siap keluar dari kos menuju halte tempat
menunggu bis menuju Wonosobo tercinta. Untung jalan yang dilewati bisa hanya
berjarak sekitar 150 meter dari kos, jadi cukup jalan kaki ke sana. Bis
Purwokerto, itu yang kucari. Lalu saat satu bis lewat dan kondektunya berteriak
‘Purwokerto’ saya pun sontak berlari mengejar bis.
Celingak-celinguk di dalam bis, kudapati bangku kosong di sebelah mbak-mbak
berjilbab, saya pun pasang muka ramah dan duduk di sampingnya. Basa basi
langsung terjadi, dan saya baru tahu kalau bis yang kutumpangi itu adalah jurusan
Purwokerto Via Purworejo-Kebumen, bukan Via Wonosobo. Duuh! Panik, saya
berteriak meminta pak sopir berhenti, tapi pak sopir dan kondektur tak
menghiraukan. Ya iyalah, sayang ada satu penumpang turun kan? akhirnya dia
bilang nanti saya turun di Secang. Sepanjang jalan benar-benar tidak bisa
menikmati perjalanan karena takut Secang terlewat.
Fyuuh... sampai Secang saya lanjut
naik bis jurusan Magelang-Wonosobo. Setelah itu masih harus berganti lagi
dengan dua kali naik angkot dan sekali ojek. Akhirnya sampailah di rumah dengan
kenangan yang tak terlupakan, dan baru memahami bahwa ada dua jalur bis
Semarang-Purwokerto PP. Alhamdulillah ya, nggak ilang di jalan :P
ilustrasi, credit pixabay |
Berdiri di Bis yang Penuh Sesak
dari Wonosobo sampai Bawen
Mahasiswa golongan rendah (haha) seperti saya, harus menikmati mudik
dengan bis ekonomi dengan segala kekhasannya. Bagi Teman-teman yang di daerah
selatan, mungkin tahu bagaimana kondisi bis Maju Makmur yang setiap hari
membawa penumpang dari Semarang ke Purwokerto dan sebaliknya. Mengenaskan dan
ugal-ugalan. Itu kesan pertama saya terhadap kondisi bis ini. Orang-orang di
dalamnya tak jauh berbeda, apalagi saat masa mudik setiap orang tak bisa tidak
membawa barang bawaan minimal dua dus selain tas yang menempel di badannya.
Bau keringat, asap rokok, suara-suara muntah dan bau yang menguar,
penjaja makanan, pengamen yang setiap saat bergantian naik turun, penjual
koran, peminta-minta ditambah suara kondektur yang terus menerus menambahkan
penumpang meski hampir tak ada lagi celah untuk sekedar berdiri tegak. Lengkap sudah
penderitaan di dalam bis. Mungkin seperti teri yang dimasukkan paksa ke dalam
karung dan harus mengikuti ke mana laju kendaraan. Belok ke kanan, artinya
harus tergencet dari sebelah kiri, begitu juga saat berbelok ke kiri atau
tiba-tiba sopir mengerem mendadak.
Mau bagaimana lagi selain berusaha menikmati perjalanan yang sangat tidak
nikmat itu? terlebih jika macet atau berhenti terlalu lama di terminal. Perjalanan
selama kurang lebih 4 jam menjadi terasa sangat lama.
Berdiri di bis yang berjubel penumpang itu sudah biasa, berjam-jam
menahan kaki yang mulai terasa kram bukan hal aneh lagi. Bahkan dulu pernah harus
bediri sejak naik bis dari Wonosobo sampai terminal Banyumanik Semarang, sementara
aku harus turun di Srondol, yang hanya satu menit dari terminal itu.
Jangan tanya lelahnya, apalagi jika itu perjalanan arus balik yang
artinya juga membawa barang minimal oleh-oleh untuk teman-teman kos.
Tak hanya itu, dijahilin sopir pun tak hanya sekali. Mereka mengaku akan
membawa penumpang ke Semarang, tapi sampai Bawen kami dipaksa turun untuk naik
bis lain, bisa dengan kondisi yang sama crowded-nya atau jika mujur akan
mendapatkan bangku kosong. Protes?! Tak akan ada yang mendengarkan teriakan penumpang
seperti kami.
ilustrasi, credit pixabay |
Lelah, tentu. Tapi kami tetap dan akan selalu menjalani rutinitas itu,
mudik dengan segala keriuhannya. Karena di balik semua yang terasa berat itu,
ada senyum dan belaian lembut yang menanti: IBU.
Ya, jika bukan karena wajah-wajah penuh kasih mereka, tentu kita tak
sanggup melewati perjalanan mudik yang super berat. Mudik, seperti burung yang kembali ke sarangnya setelah seharian berjuang mencari makan dan merindukan peraduan ternyaman.
Selamat mudik, teman-teman... semoga lancar perjalanannya dan bersua
dengan keluarga tercinta, beridul fitri dengan khusyu’ dan gembira.
Bagaimana kisah haru biru mudikmu?
Mohon tidak menyematkan link hidup dan spam lainnya :)
Salam
jadi kangen sama suasana mudik beberapa tahun yang lalu..
cuma sekarang lebih memilih pakai sepeda motor saja. Hehehe